Genre buku yang paling saya suka adalah fiksi. Saya mulai membaca novel sejak SD. Setelah dua dekade menyaring puluhan novel dan buku cerpen, inilah karya-karya fiksi berbahasa Indonesia (bukan terjemahan) yang paling saya suka. Saya tuliskan ringkasannya berdasarkan kesan dan ingatan yang sudah mulai berkarat.
10. Kasih Tak Sampai – Sitti Nurbaya (Marah Roesli)
Tidak ada yang benar-benar istimewa dari penokohan dan pengembangan karakter. Alur ceritanya pun mudah ditebak. Kisah cinta muda dan mudi yang dihalangi oleh saudagar kaya. Hal yang luar biasa adalah kritik si pengarah terhadap budayanya sendiri di Sumatera Barat pada awal abad ke-20. Roesli mengkritik habis bangsawan-bangsawan Muslim Minang di masa itu yang bergonta-ganti isteri. Membelanjai isteri dan anak-anaknya pun tak jadi soal, karena mamak (paman) yang bertanggung jawab terhadap kemenakan. Sama seperti Samsul Bahri, sang protagonis, Roesli pun berpendidikan dan berpandangan Eropa, sesuatu yang mendapat tentangan kuat di masa itu yang konservatif. Saya membaca karya klasik jaman Balai Pustaka ini di perpustakaan SMA saat bosan dengan pengajaran di kelas yang monoton.
9. Cantik Itu Luka (Eka Kurniawan)
Novel ini penuh dengan simbolisme. Cerita terjadi dari mulai jaman pendudukan Jepang sampai dengan berakhirnya Orde Baru. Setiap pihak, Orde Lama, komunis, tentara, dan Orde Baru dilambangkan dengan masing-masing tokoh. Meskipun terkadang tidak konsisten, Eka Kurniawan menurut saya berhasil mengajak pembaca sepaham dengan dirinya. Bahwa dalam putaran kekuasaan, yang sedang berkuasa, apalagi jika terlalu lama, sama saja bakal menjadi sampah, tidak peduli siapa sang penguasa itu. Dalam novel ini kita tidak terlalu menemukan kegetiran masyarakat saat penjajahan. Melalui perkembangan karakter tokoh-tokohnya yang kuat, Eka menggambarkannya lewat sebuah hubungan sedarah (incest). Ujung dari cerita dipungkas dengan hubungan terlarang antara sang antagonis dengan si Cantik, bibinya sendiri. Hal itu adalah puncak dari berbagai kebejatannya, sehingga di batu nisannya, namanya diganti menjadi ‘Anjing’ (1966-1998).
8. Saman (Ayu Utami)
Saya membaca novel ini saat kuliah S-1. Seperti laiknya pemenang-pemenang Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta, ‘Saman’ sangat elegan. Di buku ini, Ayu Utami jelas membahas masalah seksualitas dan independensi perempuan di Indonesia. Cerita berpusat pada Saman, seorang pastur Katolik dengan empat perempuan, Yasmin, Cok, Shakuntala, dan Laila. Tokoh terakhir adalah seorang perempuan Muslim yang sedang terjebak dilema karena hubungannya dengan seorang pria beristeri. Shakuntala sendiri tertarik kepada Laila. Yasmin dan Cok memburu Saman untuk memenuhi libido mereka. Saman sendiri meninggalkan kepasturannya dan menjadi aktivis. Menurut saya, Ayu sedang menunjukkan bahwa di sebuah negara yang religius, praktik independensi seksual sebetulnya sudah jamak terjadi. Jika orang barat terbuka dengan hal ini, kita masih menutupi. Saya getir membaca novel ini, namun tidak dapat tidak setuju melihat bukti-bukti empiris di lingkungan sekitar.
7. Anak Semua Bangsa (Pramoedya Ananta Toer)
Buku kedua dari ‘Tetralogi Buru’-nya Pram yang terkenal. Setelah Annelies dipaksa pergi ke Belanda, Minke melanjutkan hidupnya di Surabaya bersama mertuanya, Nyai Ontosoroh. Dalam babak ini, Minke mencoba untuk mengenali bangsanya sendiri. Sahabatnya, Jean Marais, memberikannya kritik keras. Sebagai seorang yang berpendidikan Eropa, Minke dipaksa mengakui bahwa memang ia asing di tengah bangsanya. Kegetiran mencekam yang dialami masyarakat baru dirasakannya setelah berinteraksi dengan Trunodongso, seorang petani tebu. Barulah ia tersadar bahwa imperialisme telah menyerap habis dari dalam bumi pertiwi. Minke akhirnya mengakui bahwa tidak semua yang dari Eropa itu agung. Kolonial hanya mementingkan dirinya sendiri. Sebuah paradoks dari peradaban yang mengagungkan ketinggian akal pikir.
Ceritanya sederhana, namun memberikan makna yang begitu dalam. Sering dipuji sebagai salah satu karya sastra terbaik di Indonesia, saya rasa itu tidaklah berlebihan. Hanya terdapat tidak lebih dari lima karakter pokok. Ceritanya pun tidak menawarkan letupan-letupan peristiwa yang mendebarkan hati. Justru cenderung datar, dan menuntut kita untuk ikut merenung. Di situlah malah daya tariknya. Berpusat kepada hubungan terlarang Fanton Drummond dengan Olenka, yang sudah bersuami Wayne, namun tidak bahagia dengan pernikahannya. Kegelisahan, kegamangan manusia dalam mencari jati dirinya dikisahkan melalui potongan-potongan cerita yang sederhana, namun menggugah pikiran terdalam kita. Manusia-manusia yang senang dan sibuk dengan kehidupannya masing-masing, seperti Fanton Drummond dan Olenka, ternyata tidak pernah mengetahui apa yang sebenarnya mereka cari. Di akhir cerita, pencarian itu berujung kepada Tuhan.
5. Gadis Pantai (Pramoedya Ananta Toer)
Novel pertama yang saya baca. Konon, menceritakan kisah hidup neneknya sendiri. Sama seperti Marah Roesli di ‘Sitti Nurbaya’, Pram mengutuki budayanya sendiri. Feodalisme Jawa di awal abad ke-20 memperlihatkan kebiadabannya, saat Gadis Pantai yang manis dipaksa kawin dengan seorang priyayi yang disebut sebagai Bendoro. Di tengah kemiskinan dan kebodohan yang menggigit, orangtuanya justru menganggap ini sebagai berkah. Bendoro, seorang haji yang rajin membaca kitab suci, menganggap pernikahan itu adalah percobaan. Sebuah kebiasaan di masa itu, di mana bangsawan dapat memiliki isteri-isteri percobaan, sebelum benar-benar dianggap pantas untuk memiliki isteri yang resmi. Gadis Pantai diceraikan saat anaknya masih bayi. Ia tidak kembali ke orangtuanya karena rasa malu yang sangat. Sayangnya, buku kedua dan ketiga dari novel ini sudah tidak ada. Habis dibakar tentara saat Orde Baru.
4. Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari)
Selain Pram, Ahmad Tohari adalah penulis favorit saya, dan ini adalah buku terbaiknya. Cerita berpusat pada Srintil, seorang ronggeng (penari erotis) di Dukuh Paruk. Keberadaan seorang ronggeng adalah semangat di Dukuh Paruk yang miskin, cabul, dan bodoh. Ironisnya, Srintil kehilangan kehidupannya sendiri. Seorang ronggeng berarti milik umum. Siapapun yang punya cukup uang bisa menggendak (memacari). Pada suatu titik, Srintil merasa kosong, dan ingin kembali kepada cinta masa kecilnya, Rasus, yang sudah menjadi tentara. Akibat kebodohannya, Dukuh Paruk, dan juga Srintil harus menderita saat terjadi huru-hara G 30 S PKI. Pengalaman dari penjara ke penjara menjadi budak nafsu tentara membuat jiwanya hancur. Novel ini pernah difilmkan, dengan Prisia Nasution dan Oka Antara yang memerankan Srintil dan Rasus. Menurut saya adaptasi buku ini ke film cukup bagus.
3. Orang-Orang Bloomington (Budi Darma)
Karya sastra yang menurut saya bagus, adalah yang bisa membuat pembacanya merenungi maknanya. Saat membaca “Orang-Orang Bloomington” karangan Prof. Budi Darma, saya tidak hanya merenung, bahkan sampai terpekur. Dalam enam cerita pendek yang ada di buku ini, tidak ada yang latarnya istimewa. Biasa-biasa saja. Sepintas nampak seperti problematika manusia pada umumnya, yang tak perlu mendapat perhatian lebih. Cerita yang paling memikat saya adalah “Orez”. Dikisahkan sepasang suami isteri yang sejak mula diramalkan akan celaka. Betul saja, anaknya lahir cacat, secara fisik dan mental. Cerita ini menggugah kesadaran kita. Apakah manusia kawin hanya untuk mengejar kesenangan, yang dalam cerita ini diibaratkan seperti melepas naluri binatang? Bukankah menjadi tanggung jawab setiap orangtua untuk menerima dan membesarkan anaknya sebaik mungkin? Dalam buku ini kita dapat menyelami berbagai problematika manusia dari berbagai sisi. Sebuah karya sastra, seperti ujar Maman S. Mahayana, harus mampu menjadi wahana pembacanya untuk berefleksi, sehingga dapat diterapkan ke kehidupannya yang lebih baik, di masa yang akan datang.
2. Atheis (Achdiat K. Mihardja)
Achdiat merekam kondisi intelektual muda Indonesia yang banyak terpapar oleh asing di tahun 1930-an. Banyak pemuda-pemuda sosialis yang mulai meragukan kebenaran Tuhan. Mereka melihat bahwa dunia barat bisa maju tanpa perlu datang ke gereja. Mengapa di tanah air orang masih membungkuk-bungkukkan badannya di rumah ibadah? Sedangkan Hasan, adalah potret sebagian besar umat beragama di Indonesia. Mereka beragama semata karena meneruskan kebiasaan nenek moyangnya. Umat yang dogmatis dan menelan ajaran secara bulat-bulat. Pemikiran-pemikiran kritis seperti kenapa dulu Islam mencapai kejayaan, lalu kemudian mundur, tidak pernah sampai di benak mereka. Akibatnya, pemahamannya mudah goyah. Karya sastra adalah rekaman akan kondisi sosial masyarakat sehingga kita sebagai insan yang beradab ikut berpikir. Kondisi Hasan yang terombang-ambing, bukankah masih relevan hingga saat ini? Enam puluh tahun lebih setelah “Atheis” pertama kali terbit, ternyata potret semacam itu masih banyak dijumpai. Umat beragama saling bertikai, karena pemahamannya yang dangkal. Hanya mengerti di permukaan, tanpa pernah berusaha untuk menyelami keadalaman ajarannya. Membuat mereka amat mudah untuk memandang rendah ke saudara-saudaranya yang berbeda pendapat. Sedangkan mengenai Rusli, bukankah di jaman konsumerisme sekarang penyembahan terhadap status-status materialistik makin kentara? “Atheis” pernah difilmkan oleh sutradara legendaris, Sjuman Djaja. Walaupun gagal secara komersial, menurut para pakar, “Atheis” adalah salah satu filmnya yang bermutu paling tinggi.
1. Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer)
Indah, elok, dan nyaris tanpa cela. Kolonialisme Belanda telah membuat masyarakat miskin akibat kebodohan yang berlangsung berabad-abad. Di tengah kondisi semacam ini, pendidikan adalah jalan keluarnya. Cerita berpusat pada Minke, yang adalah versi fiktif dari RM Tirto Adhi Soerjo, pionir jurnalisme di Indonesia. Di awal abad ke-20, Minke mendapatkan keistimewaan untuk bersekolah di HBS (sekarang SMA), karena status priyayi-nya. Setelah terbuka cakrawala berpikirnya, kebangsawanannya malah dibencinya sendiri. Para bangsawan Jawa menurutnya tidak lebih dari sekumpulan perangkat kolot dan bodoh, yang menjadi kepanjangan tangan kolonialisme dalam merenggut sari pati dari kaum pribumi kecil. Di suatu adegan, Minke harus merenggut semua pengajarannya, hanya untuk sebuah tradisi Jawa yang dianggapnya tak masuk akal (lampah dhadak). Di tengah-tengah pertumbuhan ideologinya, cinta Minke tertambat kepada Annelies Mellema, seorang indo Belanda. Nyai Ontosoroh, ibu Minke adalah seorang pribumi yang oleh Bapaknya sendiri dipaksa kawin dengan direktur pabrik gula berbangsa Belanda. Awalnya Minke enggan, karena nyai identik dengan perempuan yang status sosialnya dipertanyakan. Di sinilah muncul ungkapan yang terkenal. “Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”. Menurut sahabatnya, Jean Marais, ia harus membuktikan dulu, baru bisa menarik kesimpulan. Akhirnya benar. Nyai Ontosoroh yang belajar secara otodidak bahkan lebih terpelajar dan beradab dari guru-gurunya dari Eropa. Sayangnya, kejamnya imperialisme pun turut merenggut Annelies dari Minke.
Tentu saja pilihan Anda bisa berbeda dengan saya, karena selera masing-masing orang bisa berbeda. Menurut saya, pengajaran Bahasa Indonesia di sekolah daripada sibuk menghafal berbagai sintaks (ejaan, kata sambung, dll), lebih baik banyak praktik dengan membaca karya-karya klasik. Sehingga siswa-siswa dapat menyelami berbagai pelajaran hidup yang tercantum di dalamnya.
Ngomong-ngomong, teman-teman sering bertanya. Sebagai seorang pengajar di bidang rekayasa, mengapa saya begitu menyukai buku-buku sastra?
Jawabannnya selalu sama. Saya bisa matematika, tapi tidak pernah benar-benar menyukainya. Apa yang saya cinta, adalah indahnya kata, halusnya cerita, dan dalamnya makna.
Bandung, Mei 2019