Substansi

Ingin jadi wartawan, nyasar jadi guru


Leave a comment

Meningkatkan Penggunaan Transaksi Digital: Peluang, Harapan, dan Tantangan

Masih teringat dulu waktu saya dan keluarga tinggal di Belanda di medio 2012-2016. Transaksi elektronik sangatlah mudah. Berbelanja secara elektronik tinggal bayar pakai iDEAL. Ini merupakan platform pembayaran elektronik yang universal. Hampir semua bank telah terhubung ke iDEAL. Jadi, apapun banknya, konsumen tidak perlu membuka web-banking ataupun mobile banking-nya. Dari toko daring akan langsung terhubung ke iDEAL. Bahkan di tahun itu sudah cukup banyak layanan pemerintah yang tersambung. Misalnya ingin bayar pajak sampah, dari situs pemerintah tersambung juga ke iDEAL. Aman, mudah, dan yang terpenting, gratis, tidak ada ongkos transaksi.

Konsep universal payment platform juga dipakai untuk pembayaran di toko fisik. Di supermarket-supermarket di Indonesia, konsumen biasanya dihadapkan pada mesin electronic data capture (EDC) yang beranekaragam, dari berbagai bank. Di Belanda, hanya ada satu mesin EDC, yang bernama PIN. Apapun bank kita, tinggal gesek ke PIN, ini juga tanpa biaya transaksi. Menjelang kembali ke tanah air di tahun 2016, PIN membuat sebuah kebijakan baru, di mana transaksi di bawah 20 Euro tidak perlu dengan memasukkan kode rahasia. Bahkan kartu ATM tidak perlu dimasukkan atau digesek ke mesin EDC. Cukup mendekatkan kartu ke mesin, transaksi sudah dapat disahkan, dan struk belanja keluar.

Kebijakan semacam itu tentulan merupakan usaha Pemerintah Belanda untuk mendorong warganya dalam meningkatkan penggunaan transaksi digital. Saya terakhir ke Belanda tahun 2019, dan sudah mendapati bahwa tidak ada lagi transaksi kontan (cash) di semua moda transportasi umum. Dulu di bis masih bisa beli tiket (kaartjes) dengan membayar pakai koin 2 Euro. Sekarang sudah harus pakai kartu transportasi elektronik (OV chipkaart). Kalau tidak punya OV, bisa bayar dengan PIN.

Manfaat transaksi digital

Sebagian besar masyarakat tidak terlalu paham masalah ekonomi yang pelik. Sehingga contoh sederhana dari negeri kincir angin tersebut dapat dijadikan sebagai perbandingan. Kalau ingin menciptakan masyarakat dengan budaya transaksi digital non-tunai (cashless), syaratnya harus aman, nyaman, dan mudah. Penggunaan universal payment platform payment bisa menjawab tiga prasyarat itu. Continue reading

Advertisement


Leave a comment

Membangun Pendidikan, Menyiapkan Peradaban

Salah satu sudut KBA Pasirluyu dengan bantuan dari Astra

Sore hari itu suasana di Rumah Pintar Astra Nuurul Falaah tampak sepi. Pandemi COVID-19 membuat tidak adanya riuh rendah suara santri dan santriwati yang mengaji. Di depan bangunan sederhana itu terbentang sebuah jalan kecil yang menjadi satu-satunya akses. Jalan yang hanya muat satu sepeda motor itu juga lengang. Mungkin gerimis dan dinginnya udara Kota Kembang telah membuat warga malas beranjak keluar rumah. Namun tidak bagi Yayat Rustandi. Pria yang berumur 43 tahun itu dengan antusias menceritakan secara rinci sejarah dan perkembangan TK dan taman pendidikan Al-Qur’an (TPQ) nya.

Pak Yayat, demikian ia biasa dipanggil, telah membaktikan lebih dari separuh hidupnya untuk pendidikan usia dini dan agama Islam bagi warga sekitar Kampung Mengger, Kelurahan Pasirluyu, Kota Bandung. Mengurus TK dan TPQ dilakukan di tengah-tengah kesibukannya sebagai konsultan manajemen. Seperti ketika itu, saya baru bisa menemuinya sore hari menjelang Maghrib. Pasalnya, memang Pak Yayat harus bekerja untuk menafkahi hidupnya dan juga keluarganya. Ia tidak mendapatkan (dan juga tidak mengharapkan) honor atas jerih payahnya selama ini setiap saat mengurus 80 siswa PAUD dan TK serta 350 santri dan santriwati. Semua dilakukan secara sukarela untuk memenuhi panggilan jiwanya. Continue reading


Leave a comment

Kesempatan dalam Pendidikan

Sukarno di biografinya yang berjudul “Sukarno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” bilang kalau tujuannya setelah lulus Hogere Burgerschool (HBS) di Surabaya adalah melanjutkan kuliah di Negeri Belanda. Apa daya, cita-citanya itu kandas karena terbentur biaya. Betul bahwa orangtua Sukarno adalah bangsawan. Namun, pekerjaan bapaknya hanyalah sebagai guru sekolah dasar. Untuk mengirim anaknya di HBS Surabaya (SMA elit se Hindia Belanda pada masanya) saja, Raden Sukemi sudah ngos-ngosan. Sukarno pun tidak mempunyai keluarga besar yang kaya raya seperti keluarga Hatta dan Syahrir yang mampu membiayai kuliah mereka berdua di Eropa. Bagi siswa HBS yang cemerlang seperti Sukarno (bahkan prestasinya tidak kalah dari murid-murid yang berbangsa Eropa), situasi ini membuat frustrasi. Atas bujukan ibunya, barulah anak muda yang baru beranjak 20 tahun itu melunak. Sukarno akhirnya kuliah di pilihan yang lebih masuk akal, di Institut Teknologi Bandung (ketika itu masih bernama Technische Hoogeschool te Bandoeng). Continue reading


Leave a comment

Studi banding

Beberapa hari ini saya dan isteri sering membicarakan hal ini:

Bakal sulit mengetahui pengelolaan kesehatan di negara maju, kalau tidak pernah mengalaminya secara langsung. Kalau tidak pernah tinggal Belanda, rasanya kami akan sulit membayangkan, bahwa setelah bayi lahir, posyandu yang akan datang ke rumah untuk melakukan pengecekan, dan setelahnya ada perawat yang membantu di rumah selama seminggu. Hal-hal lain seperti orangtua yang diberikan hotel (gratis) kalau anaknya dirawat di NICU, surat dari posyandu setiap kali menjelang jadwal imunisasi, dan kontrol dokter yang dijadwalkan dua bulan sebelum, bakal terdengar seperti hal yang tidak lazim. Apalagi perintah posyandu untuk “membiarkan” anak menangis, guna melatihnya tidur sendiri dan duduk di car seat, akan terdengar aneh, karena tidak sesuai dengan kebiasaan orang-orang tua. Padahal di negara maju, hal seperti itu justru menjadi standar pelayanan yang seragam di seluruh negeri. Continue reading


1 Comment

Resensi Buku Sukarno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia: Bung Besar, Pengorbanan Besar

Buku Sukarno

Referensi gambar klik di sini.

Saat berkunjung ke California, Amerika Serikat, Presiden Sukarno minta diantarkan ke toko pakaian dalam. Isterinya minta dibelikan BH. Ternyata, Sang Pemimpin Besar Revolusi lupa berapa ukuran BH isterinya. Tentu saja di jaman itu berkomunikasi sangatlah sulit. Bung Karno tidak kehilangan akal. “Bisakah dikumpulkan ke sini semua pramuniaga, agar aku bisa menentukan ukuran mangkok daging ini?”

Setelah semua pramuniaga berbaris, presiden meneliti dengan hati-hati, sambil berkata, “Tidak, engkau terlalu kecil… oh, engkau kebesaran… ya, engkau pas sekali.” Ternyata ukurannya memang pas dengan BH isterinya (tidak disebutkan isteri yang mana).

Kecintaan Sukarno terhadap perempuan memang diakuinya sendiri dalam buku yang ditulis oleh Cindy Adams, “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”. Selain jumlah perempuan yang pernah dinikahinya sebanyak delapan, dia sendiri dalam banyak kesempatan tidak malu-malu mengungkapkan sifatnya yang satu ini. Continue reading


1 Comment

Menimbang Dosen Asing di Indonesia

Menristekdikti menyatakan bahwa Perpres Nomor 20 Tahun 2018 dapat membuka peluang untuk mendatangkan dosen asing (Kompas, 17/04/18). Gagasan ini berpotensi menimbulkan polarisasi pendapat. Maka sebaiknya kita kaji terlebih dahulu secara jernih, supaya setiap pendapat mendapatkan pertimbangan yang masak.

Menilik asing

Sewaktu sekolah di Belanda dulu, di grup riset saya terdapat beberapa dosen asing. Mereka berasal dari Italia, Cina, dan Turki. Semuanya bisa mencapai jenjang tertinggi dalam karir akademik, menjadi guru besar. Termasuk pembimbing saya yang adalah orang Indonesia. Dia baru saja menjadi profesor di usia 39 tahun.

Di negara-negara maju, warga negara asing yang menjadi dosen adalah sebuah kelaziman. Bukankah selama ini kita juga bangga akan putera-puteri Indonesia yang menjadi akademisi sukses di mancanegara? Bagaimana hal ini diatur, sehingga keberadaan dosen asing dapat bersinergi dengan produktivitas penelitian negara yang bersangkutan? Continue reading


1 Comment

Penikmat Bisnis Digital

Era digital telah memunculkan berbagai pencapaian yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Hanya dalam tempo kurang dari tiga tahun sejak diluncurkan, GO-JEK berhasil menarik minat 900 ribu orang untuk menjadi pengemudi [1]. Hebatnya lagi, perusahaan teknologi berbasiskan daring ini tidak memiliki satu motor dan mobil pun. Jika ditambah dengan mitra berupa penjual makanan, pemijat, sampai dengan montir, tenaga kerja yang diserap oleh GO-JEK bisa lebih dari satu juta jiwa.

Cerita yang sama terjadi untuk Tokopedia. Berawal dari sebuah forum jual beli, saat ini e­-commerce terbesar di Indonesia ini memiliki lebih dari dua juta pelapak, dengan jumlah barang yang dijual mencapai hampir sepuluh juta unit [2]. Belum lagi jika kita membicarakan e-commerce lain yang sejenis. Continue reading


Leave a comment

Kolonialisasi Hindia Belanda dan Kita

Saya membaca sebuah artikel yang sangat bagus dari Ignas Kleden, berjudul “Sejarah Kolonial dan Kita“. Artikel ini terbit di Kompas cetak, tanggal 10 Maret 2018. Pembahasan di sini panjang, namun menurut saya yang paling menarik adalah di bagian terakhir. Saya tuliskan kembali di sini, dan semoga pembaca dapat mngambil hikmahnya.

***

Dalam refleksi tentang Hindia Belanda tampak bahwa Belanda juga menerapkan beberapa pola kolonialisasi yang dipertahankannya selama tiga abad. Pertama, sebagai negara kecil dia tak punya kemampuan militer cukup untuk menaklukkan semua wilayah di Nusantara yang diincarnya. Jalan yang ditempuh adalah mencoba mengadu domba satu kerajaan dengan kerajaan lain, atau pihak-pihak yang bersaing dalam satu kerajaan yang sama. Perang dilakukan secara terpaksa kalau ada perlawanan besar dari pihak penduduk pribumi sepreti Perang Diponegoro dan Perang Aceh.

Continue reading


Leave a comment

Tradisi Lebaran di Kampung Halaman

Di kampung halaman saya, setiap kali Lebaran tiba, kami punya sebuah kebiasaan yang sudah berlangsung puluhan, mungkin ratusan tahun. Setelah sholat Idul Fitri, alih-alih berlebaran ke saudara-saudaranya, orang-orang mengunjungi tetangga-tetangga terdekatnya terlebih dahulu. Saya yakin, ritual yang semacam ini tidak hanya di Semboro, Jember. Melainkan pastilah banyak juga dipraktikkan di berbagai kampung di seluruh penjuru tanah air.

Begitu pula dengan keluarga saya. Sepulangnya dari sholat sunnah, biasanya kami makan lagi, karena yang dimakan sebelum berangkat sholat tidaklah terlalu mengenyangkan. Setelah itu, lengkap dengan seluruh anggota keluarga, kami berkeliling ke sekitar 15 sampai 20 rumah tetangga. Bersalam-salaman, bermaaf-maafan, dan duduk mencicipi kue yang sudah disediakan oleh tuan rumah. Setelah usai, barulah kami menuju rumah saudara-saudara yang jaraknya jauh dari rumah untuk bersilaturahmi.

Continue reading


Leave a comment

Mensyukuri Persatuan

Persatuan bangsa Indonesia mungkin tidak terlalu sering kita syukuri. Lahir sebagai generasi yang jauh dari masa perang kemerdekaan, dan jarang membuka sejarah, membuat persatuan kita anggap sebagai hal yang datang dengan cuma-cuma.

Selama jalan-jalan di Eropa, saya sering berpikir. Benua Eropa ini luasnya tidak beda jauh dengan Indonesia, tapi terbagi ke dalam lebih dari 50 negara.

Austria dan Hungaria hanya terpisah 4 jam perjalanan darat. Ceko dan Slovakia malah cukup ditempuh selama 3 jam. Beda bahasa, beda budaya, dan beda orientasi politik membuat empat negara yang dahulu pernah bersatu-padu itu sekarang berdiri sendiri-sendiri, dan bubarlah Kekaisaran Austria-Hungaria yang dulu megah.

Bahkan yang bahasanya sama, juga berdiri sendiri sebagai dua negara terpisah. Contohnya adalah Belanda dan Belgia yang jaraknya hanya setengah perjalanan dari Yogya ke Bandung.

Continue reading