Akhir bulan April 2019 saya pulang ke rumah orangtua di Jember. Saat bongkar-bongkar lemari buku, menemukan beberapa bacaan saat SD. Oke, saya harus akui bahwa ini bukanlah sebuah hal yang baik. Buku-buku itu dari perpustakaan SD dan tidak saya kembalikan. Nanti kalau pulang lagi, insya Allah akan saya laporkan ke guru SD saya dulu. Mau dikembalikan ke sekolah, SD saya sudah ambruk (literally).
Petualangan, kemandirian, moralitas
Saya paling terkesan dengan buku yang berjudul ‘Anak-anak Karimata’, karangan Bagin. Pengarang berkisah tentang kehidupan sehari-hari anak-anak di Kepulauan Karimata, Kalimantan Barat. Di awal babak diceritakan tentang lomba perahu antarpulau. Durani dan Unai, kedua pemenang kemudian menjalin persahabatan dengan Sapri, pemenang ketiga, yang rumahnya berasal dari pulau yang agak jauh. Setelah beberapa perselisihan, persahabatan, dan perjalanan ke Pulau Karimata yang angker, cerita ditutup dengan usaha ketiga sahabat untuk memajukan koperasi pisang di Kepulauan Karimata.
Aspek yang paling menonjol dari buku ini adalah kayanya imajinasi yang bisa dibangkitkan untuk pembaca. Saya yang sudah kepala tiga saja masih takjub saat bagian Durani dan kawan-kawan yang memancing ikan di laut lepas. Membayangkan eloknya laut Karimata, dan keberanian anak-anak berusia 11-12 tahun bertualang sendiri. Apalagi bagi pembaca SD yang imajinasinya masih tinggi. Tentu lakon semacam itu bakal lebih berkesan bagi mereka.
Pun begitu dengan sepenggal kisah bahwa Sapri tidak dapat bersekolah karena di dekat pulaunya tidak ada SD. Kalau mau SD, dia harus naik perahu tiga jam ke pulaunya Unai. Membaca kisah semacam ini, tentu bisa menjadi pemantik bagi pembaca-pembaca muda, bahwa negaranya yang bernama Indonesia itu tidak hanya luar biasa luasnya. Tapi juga beraneka ragam. Tidak pula semua setara. Masih ada teman-teman kita setanah air yang belum bisa mengakses pendidikan. Mendapatkan informasi seperti ini, tentu anak-anak bakal mengenal arti empat sejak belia.
Petualangan juga menjadi pokok cerita dari ‘Krakatau Krakatau’ (Bambang B.). Selain itu, buku ini banyak memberikan pelajaran tentang kemandirian. Diceritakan bahwa anak-anak SD sudah berani untuk mengisi waktu liburan sekolahnya secara mandiri. Mereka pergi dari Jakarta ke Banten tanpa diantar orangtua, dan setibanya di sana juga merencakan sendiri perjalanan ke Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda, untuk menolong seorang teman. Cerita dalam buku itu bagus karena cukup masuk akal. Sebaliknya, dalam ‘Anak-anak Pemberani’ (M. Ibrahim), petualangannya menurut saya terlalu berlebihan. Rasanya tiga orang anak SD yang mengalahkan segerombolan pencuri ternak kurang masuk akal. Walaupun begitu, buku ini tidak kalah bagus dalam menampilkan keanekaragaman lanskap di bumi Sumbawa.
Buku berikutnya adalah ‘Anak yang Menang’ (A. Adhib). Penulis buku ini jelas membahas masalah moralitas. Dikisahkan bahwa di keluarga Sarwono yang miskin, mereka begitu ketat dalam mengamalkan kejujuran dan kerja keras. Ini bertolak belakang dengan teman-teman Sarwono yang kaya, tapi malas. Tidak kurang dari dua puluh kali dibahas soal Pancasila di buku ini. Kesannya memang menggurui, tetapi memang bagi anak-anak SD, perlu diberitahu secara terus-menerus.
Program pemerintah
Saya baca semua buku itu sambil nostalgia. Setelah sekian lama saya baru tersadar. Ternyata semua buku berasal dari sumber yang sama, yaitu ‘Proyek/Bagian Proyek Penyediaan Buku Bacaan Anak-Anak Sekolah Dasar’. Program tersebut memiliki payung hukum dari Instruksi Presiden No. 6 tahun 1984 Tentang Penyelenggaraan Bantuan Pembangunan Kepada Propinsi Daerah Tingkat I, Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II, dan Desa. Pengadaan bahan bacaan tertertar di Pasal 5 ayat (2).
Kita tahu bahwa jaman Orba adalah jaman tentara. Di balik segala kekurangannya, tentara memiliki struktur kerja dan garis komando yang jelas. Untuk memastikan bahwa tujuan bakal tercapai sampai di unit kerja paling dasar (dalam hal ini adalah SD), metode semacam itu banyak berhasilnya.
Saya rasa pemerintah saat itu punya visi. Mereka mempunyai sebuah tujuan tentang bagaimana profil ideal anak-anak SD. Pemerintah membentuk profil tersebut lewat bahan bacaan. Pastilah isi dari bahan bacaan telah melalui sebuah seleksi dan disesuaikan dengan tujuan pemerintah. Bahan bacaan yang seragam bagi anak-anak SD tentu diharapkan dapat menghasilkan output yang seragam pula. Dalam hal ini menurut saya Orde Baru brilian. Mereka tahu bahwa imajinasi anak-anak dapat dibentuk dengan buku. Hal semacam ini tidak saya jumpai di era setelah reformasi. Perlu dicatat juga bahwa program ini dipayungi oleh Inpres. Secara psikologis, bakal memberikan kesan bahwa pimpinan tertinggi di tanah air memiliki perhatian yang tinggi terhadap pendidikan dasar di Indonesia.
Tentu soal ideal ini, adalah ideal versi Orde Baru. Paling kentara adalah pembahasan soal Pancasila dan berbagai aspek moralitas sesuai standar Orba. Saya geli membaca beberapa bagian, yang menunjukkan standar budaya tantara saat itu. Contoh di buku ‘Anak-anak Karimata’, Durani, Unai, dan Sapri menyelesaikan permasalahan dengan Yusuf melalui sebuah pengeroyokan dan baku hantam. Dari cara penceritaan, metode semacam itu adalah hal yang lumrah dan malah dianggap sebagai bagian dari sebuah aksi kepahlawanan. Begitu pula dalam ‘Anak yang Menang’, Ibu Sarwono menekankan betul kepada anaknya, untuk mencapai kebahagiaan dunia akhirat, perlu menghindar jauh-jauh dari komunisme.
Di luar segala kekurangannya, cara-cara Orba dalam membentuk mind set siswa-siswa sekolah dasar tetap saya acungi jempol. Pemerintah punya tujuan, dan tahu cara mencapainya. Lagipula pembahasa tidak cuma masalah Pancasila. Dengan membaca buku-buku itu, bisa tertanam dalam benak anak-anak tentang petualangan dan kemandirian. Selain itu, para siswa dapat mengenal keragaman daerah-daerah di Nusantara, termasuk masalah budayanya. Di buku ‘Si Manusia Kayu’, diceritakan kisah seorang seniman tari topeng dari Cirebon. Sungguh membuka cakrawala pengetahuan.
Saya merindukan program-program semacam ini dari pemerintah di masa yang sekarang. Sepesat apapun perkembangan teknologi, buku tetap tidak dapat dipisahkan untuk membentuk karakter anak-anak bangsa.
Bandung, Juni 2019
July 2, 2019 at 4:43 am
Ya ampunnn aku jd inget pas SD juga banyak buku2 perpus kayak gitu, dipinjem seminggu sekali.. buiunya tipis2, sekali baca habis. Isinya tentang moral dll.. skrg buku2 ky gitu kemana yaa?🤔. Anak2 jama skrg kayanya ga bs nemuin buku kaya gt lg skrg ini