“Bu. Uang yang saya keluarkan untuk biaya pendidikan adik-adik itu memang rejeki mereka. Hanya, Allah menitipkannya lewat saya.”
Selain Rasullah SAW yang merupakan tokoh panutan abadi, saya ingin Kinan menjadi anak sulung seperti mas Hari, pakdhe-nya, kakak pertama saya.
Bapak dari dulu sering bilang, untuk bisa berhasil dalam mendidik anak, perlu syarat berupa tiga hal; orang tua yang punya visi, program pendidikan yang bagus (dan dana yang cukup), serta anak yang mau diajak bekerja sama (kooperatif). Bapak juga sering menekankan, bahwa dia dan Ibu beruntung memiliki mas Hari sebagai anak pertama. Tidak hanya berhasil meluluskan mas Hari sebagai seorang sarjana, tetapi dia sebagai anak sulung juga ikut membimbing adik-adiknya, sehingga kami semua bisa mengikuti jejaknya. Sebuah prestasi besar bagi Bapak dan Ibu, yang hanya lulusan SD dan tidak memiliki modal apa-apa. Baca: Pendidikan yang mengubah segalanya.
Saya tidak pernah iri dengan pujian itu, karena memang tidak berlebihan. Buat saya, mas Hari adalah sedikit manusia langka yang jejaknya patut dicontoh.
Mas Hari lahir di tahun keempat pernikahan Bapak dan Ibu. Sebetulnya dia adalah anak kedua, kalau mas Sugeng tidak meninggal saat masih berumur 3 bulan. Kondisi finansial Bapak dan Ibu ketika itu masih sangat memprihatinkan. Meskipun tidak berpendidikan, Bapak kami kemandiriannya tinggi. Tidak mau dia tinggal serumah dengan Kakek dan Nenek.
Bapak tidak ingin merepotkan orangtuanya yang sudah tua. Dia tahu, kalau masih tinggal dekat-dekat, mereka bakal sering mengirimi bahan makanan untuknya. Bapak pun lebih memilih untuk mendirikan gubuk bambu sederhananya di tanah milik saudara, yang lokasinya agak jauh dari orangtuanya. Keputusan semacam ini, sangat tidak lazim bagi keluarga Jawa di tahun 1960an. Apalagi bagi mereka yang tinggal di kampung.
Di gubuk bambu itu mas Hari lahir. Tuhan memberinya kesehatan, walaupun asupan gizinya sangat minim. Jangankan susu formula, air tajin belum tentu bisa diberikan. Pasalnya, sampai lima tahunan usia pernikahannya, Bapak dan Ibu lebih sering mampu beli gaplek dibandingkan beras. Continue reading →