Substansi

Ingin jadi wartawan, nyasar jadi guru


Leave a comment

Menginap gratis di hotel saat di Belanda

Photo 27-06-2019, 9 57 31 pmSetiap kali lewat hotel ini saya ada perasaan haru. Isteri saya pun mungkin demikian.

Saya dan Intan pernah menginap di hotel ini seminggu lebih. Kejadiannya di musim dingin tahun 2015. Ketika itu, di akhir bulan Januari, anak pertama kami lahir dengan kondisi gawat darurat. Jadilah Kinan dirawat di NICU (neonatal intensive care unit) di rumah sakit UMCG, Groningen sejak hari pertama dia lahir.

Isteri saya juga ada di rumah sakit yang sama. Karena lahirannya normal, dia cepat pulih. Di hari ketiga, kami didatangi dokter dan pegawai administrasi rumah sakit. Continue reading

Advertisement


8 Comments

Anak sulung yang ideal

Bu. Uang yang saya keluarkan untuk biaya pendidikan adik-adik itu memang rejeki mereka. Hanya, Allah menitipkannya lewat saya.

Selain Rasullah SAW yang merupakan tokoh panutan abadi, saya ingin Kinan menjadi anak sulung seperti mas Hari, pakdhe-nya, kakak pertama saya.

Bapak dari dulu sering bilang, untuk bisa berhasil dalam mendidik anak, perlu syarat berupa tiga hal; orang tua yang punya visi, program pendidikan yang bagus (dan dana yang cukup), serta anak yang mau diajak bekerja sama (kooperatif). Bapak juga sering menekankan, bahwa dia dan Ibu beruntung memiliki mas Hari sebagai anak pertama. Tidak hanya berhasil meluluskan mas Hari sebagai seorang sarjana, tetapi dia sebagai anak sulung juga ikut membimbing adik-adiknya, sehingga kami semua bisa mengikuti jejaknya. Sebuah prestasi besar bagi Bapak dan Ibu, yang hanya lulusan SD dan tidak memiliki modal apa-apa. Baca: Pendidikan yang mengubah segalanya.

Saya tidak pernah iri dengan pujian itu, karena memang tidak berlebihan. Buat saya, mas Hari adalah sedikit manusia langka yang jejaknya patut dicontoh.

Mas Hari lahir di tahun keempat pernikahan Bapak dan Ibu. Sebetulnya dia adalah anak kedua, kalau mas Sugeng tidak meninggal saat masih berumur 3 bulan. Kondisi finansial Bapak dan Ibu ketika itu masih sangat memprihatinkan. Meskipun tidak berpendidikan, Bapak kami kemandiriannya tinggi. Tidak mau dia tinggal serumah dengan Kakek dan Nenek.

Bapak tidak ingin merepotkan orangtuanya yang sudah tua. Dia tahu, kalau masih tinggal dekat-dekat, mereka bakal sering mengirimi bahan makanan untuknya. Bapak pun lebih memilih untuk mendirikan gubuk bambu sederhananya di tanah milik saudara, yang lokasinya agak jauh dari orangtuanya. Keputusan semacam ini, sangat tidak lazim bagi keluarga Jawa di tahun 1960an. Apalagi bagi mereka yang tinggal di kampung.

Di gubuk bambu itu mas Hari lahir. Tuhan memberinya kesehatan, walaupun asupan gizinya sangat minim. Jangankan susu formula, air tajin belum tentu bisa diberikan. Pasalnya, sampai lima tahunan usia pernikahannya, Bapak dan Ibu lebih sering mampu beli gaplek dibandingkan beras. Continue reading


32 Comments

Pendidikan yang Mengubah Segalanya

Keluarga lengkap waktu nikahan saya (2012). Dari kiri ke kanan: Aan, Mas Hari, Ibu, Saya, Intan, Bapak, Mbak Eni

Keluarga lengkap waktu nikahan saya (2012). Dari kiri ke kanan: Aan, Mas Hari, Ibu, Saya, Intan, Bapak, Mbak Eni

Saya memiliki tiga orang saudara kandung. Kakak saya yang pertama (kelahiran 1970) lulusan Teknik Elektro, UB. Kakak kedua (kelahiran 1976) lulusan Teknik Sipil, ITS. Adik (kelahiran 1995) sedang kuliah di Akuntansi, UB. Saya sendiri (kelahiran 1986) lulusan Teknik Industri, ITB.

Kadang saya tidak habis pikir bagaimana bisa kami semua mengenyam pendidikan sarjana di perguruan tinggi negeri. Bagaimana tidak, saudara-saudara kami dari Bapak tidak ada sama sekali yang kuliah. Saudara-saudara dari Ibu ada yang kuliah, tetapi tidak banyak, dan semuanya di perguruan tinggi swasta. Orangtua kami jangan ditanya. Bapak (kelahiran 1942) hanya tamatan SD, sedangkan Ibu (kelahiran 1954) malah hanya sempat bersekolah sampai kelas tiga SD. Continue reading