Wacana bahwa sebaiknya pemerintah bisa menjembatani perpindahan dosen antaruniversitas mulai digulirkan oleh beberapa kalangan, salah satunya dalam artikel berikut ini. Meniru praktik serupa di negara-negara maju, banyak dampak positif yang bisa diambil dengan skema ini; diantaranya adalah pemerataan distribusi keahlian dosen, kompetisi yang lebih terbuka, dan egaliterianisme dalam kehidupan kampus. Tulisan ini akan menjawab apakah gagasan tersebut mungkin untuk diterapkan di dunia pendidikan tinggi Indonesia di saat ini.
Pasar bebas dosen
Mobilitas antaruniversitas jelas banyak manfaatnya. Namun, penting untuk dipahami bahwa perpindahan dosen bukanlah sesuatu yang dikendalikan sepenuhnya oleh regulator. Di negara-negara yang pendidikan tingginya maju, dosen pindah universitas semata mengikuti pasar bebas, dimana universitas mempunyai permintaan tenaga kerja, sementara dosen adalah titik-titik pasokan. Pemerintah tidak pernah membuat keputusan bahwa seorang dosen dari universitas A harus pindah ke universitas B dengan alasan apa pun. Perguruan tinggi diberi otonomi, termasuk dalam pengelolaan sumber daya manusianya.
Otonomi tersebut tercermin dari tata cara lowongan dosen baru. Sebuah universitas membuka lowongan dikarenakan dua hal; dosen yang lama berpindah kerja, atau sebuah program studi sedang berkembang sehingga memerlukan tambahan SDM. Jika lowongan di perguruan tinggi di Indonesia hanya mengenal posisi “dosen”, lowongan di luar negeri akan dengan spesifik menyebutkan jabatan fungsional yang sedang dibuka, apakah itu “lecturer”, “assistant professor”, “associate professor”, atau “full professor”.
Ilustrasi di atas cukup menjelaskan perbedaan prinsip yang dianut kedua kubu dalam mengelola SDM. Saat seseorang diterima menjadi dosen baru di PTN/PTS, dia sudah pasti akan memulai karirnya dari jenjang “asisten ahli”. Tidak pernah ada lowongan untuk posisi “lektor”, “lektor kepala”, atau “guru besar” di dunia pendidikan tinggi Indonesia. Maka bisa dipahami jika hampir bisa dipastikan bahwa seorang dosen bakal menghabiskan karirnya di satu universitas saja.
Berbeda dengan di luar negeri. Sebagai contoh, seorang “assistant professor” bisa pindah ke universitas lain yang sedang membuka lowongan untuk jafung akademik yang lebih tinggi. Tidak hanya bagi akademisi, para pekerja di industri yang bergelar doktor pun boleh mendaftar. Para peneliti di litbang industri yang mempunyai paten malahan bisa menjadi kandidat yang lebih kuat dibandingkan seorang akademisi yang baru selesai post-doctoral. Proses seleksinya sendiri cukup sederhana. Hal yang dicek pertama kali adalah publikasi ilmiah dan rekam jejak penelitian. Selanjutnya, pelamar diberi kesempatan untuk memberikan kuliah di depan mahasiswa sarjana dan pascasarjana. Terakhir adalah wawancara, untuk memeriksa kesesuaian visi dan misi antara pelamar dengan universitas yang biasanya diwakili oleh dekan atau kepala grup riset.
Tidak semua dosen pindah kerja karena faktor gaji. Sebagai contoh, negara-negara di Eropa umumnya memberlakukan sistem gaji yang seragam untuk semua universitas. Kalaupun ada perbedaan, variasinya cukup kecil. Artinya, alasan seorang dosen untuk pindah lebih karena ingin bekerja di universitas yang peringkat akademiknya lebih bagus, atau yang arah penelitiannya lebih sesuai dengan minatnya.
PNS dan kum yang menghambat
Salah satu negara dengan perpindahan dosen yang tinggi adalah Amerika Serikat. Untuk kasus ini, bisa dimengerti jika mobilitas antaruniversitas tinggi. Mayoritas perguruan tinggi top di AS adalah PTS, sudah tentu otonomi kampus menjadi tinggi. Kondisi sebaliknya terjadi di Eropa, dimana sebagian besar universitas adalah PTN. Bahkan di beberapa negara seperti Belanda dan Perancis, regulasi PTS diatur dengan amat ketat. Namun, bagaimana dosen-dosen di Eropa tetap bisa dengan mudah berpindah-pindah kerja antar universitas, bahkan antar negara?
Jawabannya, perpindahan tersebut dimungkinkan, karena seorang dosen PTN di Eropa status kepegawaiannya bukanlah PNS, sehingga status pekerjaannya tidak terlalu terikat ke sebuah institusi. Sistem ini secara tidak langsung juga memudahkan universitas. Saat sebuah program studi memerlukan dosen baru, universitas dapat sesegera mungkin membuka rekruitmennya, tanpa perlu mengikuti prosedur atau jadwal pengadaan PNS yang ditentukan oleh pemerintah pusat sebagaimana praktik yang terjadi di negara kita.
Di Indonesia, wacana status dosen non-PNS di beberapa PTN eks BHMN sempat dibahas di UU BHP. Namun sayangnya UU tersebut telanjur diamandemen tanpa sempat dianalisis lebih lanjut. Dengan sistem sekarang, perpindahan dosen nyaris mustahil. Dosen PTS tidak mungkin bisa pindah ke PTN kalau statusnya bukan PNS. Sementara, arus perpindahan dengan arah yang sebaliknya juga sulit terjadi karena adanya anggapan dari sebagian kalangan bahwa PTN lebih superior dari PTS.
Selain itu, penilaian jabatan fungsional dosen yang berbasiskan “kum” juga cukup menghambat. Dosen bisa naik jafung kalau kredit poinnya dari kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat sudah mencukupi. Komponen penilaian “kum” diatur dengan amat rinci dan mengikat, seolah dosen adalah mahasiswa yang harus dibimbing langkah per langkah. Sepanjang pengetahuan Penulis, tidak ada negara yang pendidikan tingginya maju menerapkan sistem “kum”.
Sedangkan di luar negeri, fleksibelnya penilaian jafung membuat dosen leluasa untuk pindah kerja. Selama memiliki publikasi yang mencukupi, dosen akan percaya diri untuk memasukkan lamarannya ke universitas lain. Sementara di Indonesia, sistem “kum” yang mengikat bakal membuat dosen secara psikologis malas untuk meninggalkan kandangnya. Untuk apa pindah ke universitas lain saat makalah-makalah yang sudah dibuat tidak serta merta menjamin jafung yang lebih tinggi? Di tempat kerja yang baru pun, selain harus beradaptasi dengan lingkungan baru, dosen tetap harus kembali mengumpulkan kredit poin.
Penutup
Banyak hambatan yang membuat mobilitas dosen antaruniversitas untuk saat ini sulit direalisasikan. Inti permasalahan adalah bagaimana pemerintah, dalam hal ini Kemristekdikti, mengelola pendidikan tinggi di tanah air. Terobosan-terobosan perlu dilakukan tidak hanya oleh Kemristekdikti, tetapi juga oleh dosen dengan cara menyumbangkan pikiran-pikirannya untuk perbaikan manajemen pendidikan tinggi.
Groningen, Mei 2016
*Penulis adalah dosen di Institut Teknologi Bandung. Isi tulisan adalah pendapat pribadi.
Referensi:
- F. Rakhman, “Mobilitas Antaruniversitas”, Kompas, 17 Mei 2016.
- “Salus University Human Resources Department”, http://www.salus.edu/About/Human-Resources.aspx, diakses 31 Mei 2016.
May 31, 2016 at 12:54 pm
Mas Rully, semua Dosen yg ngajar di ITB itu memulai karir awal dari ITB ya? ga ada yg misalnya dosen dari dari PTS atau PTN lain masuk ke ITB gitu. Jadi ujungnya memang tidak pernah ada lowongan utk “dosen berpengalaman” ya? utk suatu PTN, ITB contohnya
May 31, 2016 at 1:04 pm
Betul, semua dosen di ITB memulai karirnya di ITB. Begitu pula dosen UI, UGM, IPB, dll bisa dipastikan 99,9% menghabiskan sepanjang karirnya di kampus yang sama. Belum pernah saya temui dosen PTS pindah ke PTN, kecuali kalau ada kejadian khusus, misalnya UNWIM yang diakuisisi jadi kampus ITB Jatinangor. Seperti yang saya tulis, dosen PTN di Indonesia (sebagian besar) statusnya PNS, ini menyulitkan perpindahan tenaga kerja.
Pasar tenaga kerja dosen di Indonesia tidak terbuka seperti di LN. Contoh di Belanda, mas B. Jayawardhana (sekarang dia Associate Professor) kalau gak sabar nunggu kenaikan jabatan fungsionalnya di RuG, dia bisa pindah misalnya ke TU Delft atau universitas lain yang sedang buka lowongan Full-Professor. Selama qualified, dia bisa diterima. Di Indonesia, lowongan semacam itu tidak ada. Adanya hanya lowongan untuk satu posisi generik, yaitu “dosen”.
May 31, 2016 at 2:34 pm
Saya menyelesaikan S1 di ITS dan kemudian jadi dosen di UNS..walaupun konteksnya bukan berpindah tempat kerja sebagai dosen tapi paling tidak sudah mengalami perbedaan budaya dari dua universitas yang berbeda. Pendapat saya kalau sistem di Indonesia masih terus memakai status PNS untuk dosen universitas negeri saya rasa hampir mustahil mobilitas tenaga akademik bisa terjadi. Dan memang banyak dari dosen di Indonesia sendiri masih mencari status PNS demi keamanan hidupnya..Balik lagi ini soal sistem.
June 1, 2016 at 5:12 am
Iya, saya setuju. Kalau tetap dengan sistem PNS, tidak mungkin terjadi mobilitas dosen. Memang betul, dulu di ITB pertentangannya juga cukup kuat pada saat kami masih berstatus BHP dan ada wacana bahwa dosen-dosen baru tidak perlu berstatus PNS. Selain itu, saya melihat ada semacam “kecemburuan” dari kampus-kampus lain jika beberapa kampus (misal eks BHMN) boleh menerapkan aturan kepegawaian yang berbeda.
July 13, 2016 at 3:02 pm
Mungkin bisa dimulai dari sekarang Pak, saya lihat PTN-PTN sekarang hanya menerima dosen Non-PNS karena adanya Moratorium dari pemerintah. Status dosen non-PNS ini P3K, Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja dan ada jangka waktu tertentunya.
Kata universitas yang menerima sih, kalau jenjang karir bakal sama saja dengan PNS. Yang jadi pertanyaan kalau jangka waktunya habis dan pindah ke tempat lain, apakah “kum”-nya tetap dihitung?
July 14, 2016 at 12:53 pm
Iya, contohnya dosen UNWIM yang di-PNS kan ke ITB Jatinangor.
Menurut saya mobilitas dosen antaruniversitas bakal sangat sulit, selama dunia pendidikan tinggi kita hanya mengenal satu posisi saat membuka lowongan, yaitu “dosen”. Di LN, lowongan yang dibuka tergantung posisi akademik yang sedang tersedia. Bisa “lecturer”, “assistant prof.”, “associate prof.”, atau “full prof.”.
Selain itu, karena kualitas antaruniversitas tidak merata, pada akhirnya lulusan-lulusan PTN besar enggan untuk mengajar di luar almamaternya.
October 5, 2016 at 10:07 am
Terimakasih Bung Rully atas atensi terhadap para dosen… Saya pernah menyampaikan hal tersebut ke Pak Irjen Kemenristekdikti… Namun yang dikhawatirkan beliau adalah terjadinya exodus dan dapat menyebabkan melemahkan suatu prguruan tinggi… Persoalannya, di Negara Kita sudah terlanjur dibuat pemeringkatan (ranking) perguruan tinggi, yang salah satu tolok ukurnya adalah kualitas SDM… Apabila terjadi perpindahan dosen, dapat menyebabkan suatu Program Studi di suatu PT mengalami penurunan kelas akreditasi…. dan sebaliknya yang memperoleh tambahan dosen baru, dapat berpeluang meningkatka akreditasi… dst…. Saya sendiri sebagai dosen sepakat untuk sistim yang Rully ajukan… terus terang saya juga mengalami kejenuhan disuatu tempat…. Sejumlah kementerian yang menerapkan sistim rolling justru mengalami kestabilan, misalnya Kementerian Keuangan, TNI, POLRI, Kehakiman…. Coba perhatikan kualitas dari satu lembaga Keuangan atau lembaga Kehakiman/ Kejaksaaan di suatu propinsi tidak jauh beda dengan propinsi lainnya… ini karena adanya sistim pindah tempat yang memajukan para person dan lembaga itu sendiri… Alasan tsb pernah saya sampaikan ke Pak Irjen… Beliau juga berpikir-pikir tentang hal ini.. Sejumlah pimpinan PTN juga sepakat dengan pola tersebut… Namun sekali lagi perlu secara massif ide ini digulirkan… MOHON BUNG RULLY MENYURAT SECARA RESMI KE KEMENTERIAN RISTEKDIKTI tentang ide ini… Langsung ke Menteri dan Tembusan ke Sekjen, Irjen, dan Menteri PAN-RB…
July 10, 2018 at 9:51 am
Mas Rully mohon info bagaimana jika ada seorang dosen PNS dari Universitas A mengajukan permohonan untuk menjadi “Dosen Titipan Sementara” pada Universitas B karena alasan keluarga yang berdomisili di kota B. Apakah hal ini dimungkinkan? kalo hal memang memungkinkan adakah dasar hukum yang mendukung? trims
August 3, 2018 at 10:24 pm
Salam kenal. Sepengetahuan saya, dimungkinan. Pertama, lebih baik mengadakan pendekatan informal kepada kedua belah pihak universitas. Kedua, universitas tujuan mengajukan kebutuhan, dan universitas asal melepas. Tetapi, proses ini memakan waktu. Di TI ITB sudah ada yang pindah, ke PTN lain, dan berhasil.
May 24, 2019 at 11:59 pm
salam sukses, mohon dukungan dari teman-teman dosen yang lebih senior tentang status dosen tetap non pns pada ptn, bahwa berdasarkan uu no 84 tahun 2013 hak dan kewajiban dosen tetap non pns sama dengan dosen pns, tetapi pada kenyataannya sangat jauh berbeda dalam hal gaji dll, mohon disampaikan ke pk menteri… salam kompak.
July 9, 2020 at 7:18 pm
Izin bertanya Pak Rully. Apabila seorang dosen asal Indonesia menjadi profesor di universitas di Inggris, kemudian dia berencana untuk kembali ke Indonesia dan menjadi dosen di Indonesia, apakah dia harus mengulang jenjang karirnya? Ataukah titel profesor melekat pada dirinya? Terimakasih Pak Rully
July 9, 2020 at 7:20 pm
Salam kenal, mas Ivan. Setahu saya, harus mengulang jenjang karirnya. Paling banter mulai karirnya di Indonesia dari lektor (assistant professor). Sayangnya sistem di Indonesia setahu saya masih begitu. Atau alternatif lain, jadi adjuct profesor di kampus Indonesia. Apakah Anda sekarang menjadi profesor di Inggris?