
K: Ayah, punah itu apa?
R: Punah itu berarti sudah tidak ada binatangnya di dunia ini. Misalnya badak mungkin sudah hampir punah, karena tinggal sedikit.
K: Ooo, badak sudah hampir punah. Kalau kucing belum punah?
R: Kucing masih banyak.
K: Kenapa kalau badak hampir punah, tapi kucing masih banyak?
R: Ada yang bilang karena badak diburu. Itu betul, tetapi sebetulnya, ada alasan yang lain. Badak hamilnya lama, 17 bulan baru keluar bayi badak. Itu pun biasanya cuma satu, lahir kembar jarang-jarang. Coba kalau kucing, tiga bulan sudah lahir bayi-bayi kucing. Sekali lahir bisa tiga, atau bahkan lima ekor bayi.
Setelah saya jelaskan begitu ternyata dia belum terlalu mengerti. Wajar, apa yang saya terangkan adalah logika matematika sederhana. Di umur empat tahun, anak-anak sudah banyak yang bisa mengerti angka dan menghitung sedikit-sedikit. Tetapi untuk soal abstraksi, belum semua mengerti.
Menurut saya pendidikan dasar itu harus menanamkan konsep dan logika yang kuat. Kalau semata teknik, bisa dikejar pelan-pelan. Matematika tidak terkecuali. Dengan begitu, kelak anak-anak selalu dapat memanfaatkan dan menyambungkan pengetahuan yang didapatkan dari tahap belajar di periode-periode sebelumnya.
Jadi, saya coba jelaskan dengan permainan. Dalam mengajari Kinan, selama ini saya memang lebih suka dengan contoh dan peragaan. Misal saat dia bertanya,
1. Apa itu horison? Saya jelaskan saat matahari terbenam di pantai.
2. Kenapa ada siang dan malam? Kenapa di Belanda ada salju, sedangkan di Indonesia tidak? Saya jelaskan dengan bola mainannya dan senter.
3. Bagaimana bendungan itu? Saya bawa langsung ke dam kecil di kampus ITB Jatinangor.
4. Bagaimana jatuhnya meteor bisa memusnahkan dinosaurus? Saya jelaskan dengan batu, baskom, air, globe dan senter.
Dll.
Kembali ke soal badak dan kucing. Saya menggunakan kotak-kotak (matriks) berukuran 4 x 12 yang digambar di ubin. Setiap kotak adalah representasi 1 bulan. Jadi, ada 4 tahun. Sebelumnya saya sudah pernah memakai matriks semacam ini saat dia bertanya, kenapa kita berulangtahun? Saya nilai dia sudah cukup mengerti soal konsep waktu.
Saya minta dia kumpulkan lego dari dua warna yang berbeda. Hijau untuk badak, merah untuk kucing. Saya pegang kucing, Kinan badak. Kami sama-sama mulai di bulan ke-1 tahun pertama.
Di kotak pertama itu, baru ada satu badak, dan satu kucing. Saya terangkan ke dia kalau saat itu, dua binatang itu baru mulai hamil. Kami sama-sama melangkah ke bulan ke-2 dan ke-3. Saat sampai di bulan ke-4, saya tanya,
R: Coba hitung, berarti badak dan kucing sudah hamil berapa bulan?
K: Satu, dua, tiga!
R: Siapa berarti yang sekarang melahirkan?
K: Kucing! Badak belum ya?
R: Belum, dia baru setelah 17 bulan.
Saya ambil tiga lego merah. Itu adalah anak-anak kucing yang baru lahir. Di bulan ke-7, saya tambah tiga lego merah lagi, kloter kelahiran yang kedua. Asumsinya, begitu melahirkan, binatang hamil lagi. Oke, bisa saja ini kurang masuk akal. Tetapi agak sulit menerangkan logika jeda kehamilan ke balita. Lagipula, asumsi langsung hamil lagi ini berlaku untuk kucing dan badak. Jadi dua-duanya secara matematis bakal setara.
Kami berjalan terus (juga dengan anak-anak kucing). Di bulan ke-18, lego hijau (badak) Kinan baru punya seekor bayi. Sementara kucing sudah punya 15 anak. Kami berjalan terus, dan sepertinya dia mulai mengerti. Setelah melihat langsung jumlah lego merah dan hijau, dia tahu bahwa secara alamiah memang jumlah badak lebih sedikit jika dibandingkan kucing.
Ini adalah permainan sederhana karangan saya untuk mengajarkan logika matematika ke balita. Beberapa hal bisa dikembangkan:
1. Jeda antarkehamilan seperti yang sudah dijelaskan di atas.
2. Tidak cuma induk, anak-anak badak/kucing yang lahir pun juga bisa punya anak. Tetapi harus ada penjelasan tambahan, setelah berapa lama bayi badak/kucing menjadi dewasa dan bisa hamil.
3. Tidak semua anak-anak binatang yang lahir betina.
4. Jumlah kelahiran kucing tidak harus selalu 3. Begitu pula badak, kadang-kadang (walau jarang) mungkin bisa kembar.
5. Ada laju kematian setiap binatang. Termasuk jika badak mati karena ditembak pemburu.
Untuk sekarang, tujuan saya memang hanya menjelaskan kenapa badak ada sedikit, dan kucing ada banyak di dunia ini. Jika poin-poin di atas dikembangkan, anak-anak juga bisa belajar tambah, kurang dan perkalian sambil bermain. Kembali ke maksud awal, yang terpenting anak-anak bisa mengerti konsep dan logikanya, tidak hanya menghafal.
Ngomong-ngomong, untuk keterampilan teknis seperti mengeja alfabet atau menghitung yang sulit-sulit, saya belum terlalu serius mengajarkan.
Tentu saja pendekatan saya ini bisa salah. Saya memang bukan ahli atau praktisi pendidikan dasar. Selama ini mendidik anak hanya menggunakan logika, intuisi dan melihat contoh-contoh yang baik dari berbagai sumber. Tetapi saya yakin, penanaman konsep yang fundamental akan banyak manfaatnya.
Selaras seperti soal baca-membaca. Saya punya keyakinan bahwa balita bisa-bisa saja diajarkan lancar membaca alfabet. Tetapi apakah keterampilan semacam itu bakal menjamin 30-40 tahun lagi dia akan gemar membaca saat sudah dewasa? Saya tidak yakin. Menurut saya justru kecintaan akan membacanya itulah yang harus ditanamkan dengan erat. Sedari kecil banyak dikenalkan dengan buku, anak-anak akan tumbuh menjadi insan-insan yang haus akan pengetahuan. Membaca dan mencari ilmu bakal dirasakan sebagai sebuah kebutuhan. Sehingga saat dewasa, kebiasaan membacanya akan terus melekat. Sedangkan soal teknis bisa mengeja alfabetnya, pasti bisa dikejar.
Dalam hal pengajaran matematika dan ilmu yang lainnya pun sama. Mengerti konsep, logika, dan kegunaan akan ilmu yang sedang diajarkan kepadanya, tentu kelak banyak faedahnya bagi anak-anak.
Bandung, Mei 2019