Rasanya hampir putus asa saat itu. Impian sejak dulu untuk memiliki rumah sendiri kelihatannya bakal sirna seketika. Di saat kontraktor sudah sepakat dengan harga, saya terkendala untuk mengirim dananya. Uang sebesar 250 juta rupiah sudah tersedia di rekening. Namun, saat itu banyak hambatan teknis yang membuat dana tersebut sulit untuk terkirim. Padahal, tanpa adanya uang, kontraktor bisa membatalkan kesepakatan. Bukan cuma kehilangan kesempatan untuk mendapatkan kontraktor berkualitas dengan harga borongan yang murah, saya pun bisa dianggap telah mempermainkan mereka, sehingga kelak sulit untuk mendapatkan kepercayaan lagi.
Kendala jarak
Saat itu, di bulan Mei 2015, saya memang sedang berada di Belanda. Sejak akhir tahun 2012 saya bersama istri tinggal di negeri kincir angin, tepatnya di kota Groningen. Saya dikirim oleh perguruan tinggi tempat saya bekerja untuk tugas belajar program doktoral. Selama itu, rekening BNI saya tetap aktif, karena sebagai seorang PNS, saya tetap mendapatkan kiriman gaji setiap bulannya.
Bukannya bermaksud untuk menyombongkan diri, sejak awal bekerja di tahun 2011, saya jarang sekali mengurus rekening di BNI. Pasalnya, gaji dan berbagai honor dosen yang terkirim kesitu selama ini sengaja saya perlakukan sebagai “uang mati”. Bukannya tidak perlu uang, justru dana di BNI saya persiapkan sebagai tabungan, yang hanya boleh dipakai kalau keadaan amat mendesak. Artinya, saya harus bisa disiplin untuk mencukupkan kebutuhan dari sumber pendapatan yang lain, misalnya dari proyek konsultansi, investasi, atau honor menulis di media.