Substansi

Ingin jadi wartawan, nyasar jadi guru


Leave a comment

Kartu Nama (cerpen)

Tidak pernah kuduga kedatanganku ke kampung halaman kali ini bakal mempertemukanku dengan kejadian yang cukup luar biasa. Awalnya aku hanya mampir untuk menjenguk Ibu, setelah kebetulan kantor menugaskanku untuk menjalin kerjasama dengan universitas di J. Ibu yang setelah jadi janda bersikeras tidak mau ikut tinggal dengan anak-anaknya, sore itu tidak menyambutku dengan keriangannya yang biasa ia tunjukkan ketika bertemu dengan anak dan cucunya.

Aku khawatir isteriku sudah lapor ke Ibu perihal pertengkaran hebat kami beberapa hari yang lalu. Dengan raut muka yang tidak bisa kutebak maknanya, Ibu bilang,

“Melayatlah ke Widi. Dhuhur tadi dia meninggal setelah minggu lalu ditembak polisi. Kau masih ingat bukan rumahnya dimana?”

Tidak perlu dijelaskan kekagetanku. Tentang Widi, Ibu sudah sering menyampaikan salam dari teman masa kecil itu. Setiap kali datang ke Desa S, Ibu tidak kenal bosan menegurku supaya menemuinya. Sebuah anjuran yang tidak pernah aku laksanakan, dengan alasan rasa lelah setelah perjalanan dari B, atau waktu yang habis untuk memenuhi rengekan anak-anak yang minta diantar jalan-jalan di J.

Telanjur malu dan menyesal karena tidak pernah sempat bertemu, aku bergegas pergi tanpa minta penjelasan lebih lanjut ke Ibu tentang tertembaknya Widi. Lagipula, aku tidak ingin mendengar lanjutan berita yang lebih mengguncangkan hati.

Continue reading

Advertisement