Substansi

Ingin jadi wartawan, nyasar jadi guru

Dosen Indonesia vs Dosen Luar Negeri

7 Comments

Selalu menarik untuk melakukan komparasi antara sesuatu hal di Indonesia dengan di luar negeri. Bukan untuk mengumbar pujian atas yang serba luar negeri dan melupakan bahwa di Indonesia sebetulnya juga masih ada baiknya. Tetapi, justru supaya kita bisa belajar hal-hal yang baik di mancanegara supaya kelak bisa diterapkan di tanah air.

Termasuk juga dalam masalah dosen, satu bidang yang saya tekuni sebagai sebuah pekerjaan selama ini. Mungkin saya tidak terlalu kompeten untuk membuat perbandingan antara dosen Indonesia dengan dosen luar negeri. Saya menjadi dosen (PNS) baru pada tahun 2012. Setelahnya, saya langsung tugas belajar S-3 ke Belanda. Pendek kata, pengalaman saya memang baru seumur jagung.

Namun, selama tiga tahun ini saya mencermati beberapa hal yang cukup berbeda secara signifikan antara dunia dosen Indonesia dengan di luar negeri. Saya orangnya memang suka mengamati. Kalau kata Bung Hatta juga, selama studi di luar negeri itu alangkah disayangkan jika kita hanya belajar ilmu formal di bangku kuliah, tetapi lupa untuk mengamati budaya, filosofi kerja dan segala sesuatu yang membuat negara asing lebih maju dari tanah air.

Maka dari itu, tulisan ini mencoba menyajikan perbandingan di dunia perdosenan dengan harapan ada pelajaran yang bisa kita ambil bersama. Tulisan kali ini cukup panjang, karena saya ingin menyajikan secara komprehensif. Semoga bisa dicerna dengan mudah. Jika ada pemaparan di tulisan ini yang tidak sesuai dengan kenyataan, saya selalu terbuka untuk berdiskusi.

Ringkasan perbandingan antara dosen Indoensia dengan dosen di luar negeri dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Luar negeri mengacu kepada negara-negara dengan pendidikan tinggi yang maju semisal Amerika Serika, Belanda, Inggris, Perancis, Jerman, Swedia, Jepang, Korea Selatan, dll.

Kategori Indonesia Luar negeri
Fungsi yang dijalankan Pendidikan, penelitian, pengabdian masyarakat Pendidikan, penelitian, pengabdian masyarakat
Jenjang karir Asisten Ahli, Lektor, Lektor Kepala, Guru Besar Lecturer, Assistant Professor, Associate Professor, Professor
Entry level Master Doktor, dengan pengalaman post-doctoral. Beberapa negara mempersyaratkan Habilitation
Tenure/permanent position Cukup mudah dengan sistem penilaian yang rigid Cukup sulit dengan sistem penilaian yang fleksibel
Produktivitas penelitian Rendah Tinggi
Relasi dengan industri Tinggi, dalam bentuk proyek konsultansi Tinggi, dalam bentuk proyek penelitian
Sistem remunerasi Cukup fleksibel. Dimungkinkan untuk menambah gaji dosen dari kegiatan lain-lain Full time employment. Tidak dimungkinkan untuk menambah gaji dosen dari kegiatan lain-lain

1. Fungsi yang dijalankan

Ciri utama dari satu pekerjaan adalah fungsi yang dijalankan. Untuk dosen, fungsi tersebut tertera dalam tridharma perguruan tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Pendidikan terkait dengan kegiatan belajar mahasiswa, seperti kuliah, membimbing tugas akhir, mengembangkan diktat kuliah, dll. Penelitian adalah kegiatan penyelidikan yang dilakukan secara sistematis di bidang yang diampu oleh dosen. Biasanya, luaran dari kegiatan penelitian adalah makalah ilmiah dan paten. Fungsi ketiga, pengabdian masyarakat, mudahnya adalah kontribusi dosen terhadap kemajuan masyarakat berdasarkan keahliannya masing-masing.

Jika dibandingkan dengan di negara-negara maju, fungsi yang dijalankan adalah sama saja. Untuk fungsi pertama dan kedua, dosen di luar negeri jelas juga mengajar dan meneliti. Terkait dengan fungsi ketiga, di beberapa negara tidak disebutkan secara eksplisit bahwa dosen harus melakukan kegiatan pengabdian masyarakat. Namun jika diamati, rata-rata dosen di mancanegara menjalin kerjasama dengan industri. Walaupun tajuknya adalah dalam rangka kegiatan penelitian, namun keterlibatan industri dapat juga dianggap ekuivalen dengan komponen tridharma perguruan tinggi yang ketiga. Untuk itu, kita simpulkan bahwa dosen di Indonesia dan dosen di luar negeri menjalankan fungsi yang sama.

2. Jenjang karir

Dari sisi jenjang karir dosen, kurang lebih pun sama antara di Indonesia dengan di luar negeri, hanya berbeda nama saja. Jabatan fungsional dosen yang dikenal di Indonesia adalah Asisten Ahli, Lektor, Lektor Kepala, dan Guru Besar. Beberapa orang menyamaratakan tiga jabatan fungsional terakhir dengan Assistant Professor, Associate Professor, dan Full Professor. Sedangkan untuk jabatan Lecturer, masih terjadi perdebatan apakah posisi ini setara dengan Asisten Ahli. Hal ini dikarenakan tidak semua negara mengenal posisi Lecturer. Tetapi kalau saya, lebih memilih untuk menganggap dua posisi itu ekuivalen.

Kalau melihat tanggung jawab pekerjaan, kira-kira pun sama. Guru Besar dan Full Professor adalah orang yang bisa bertindak sebagai promotor mahasiswa doktoral. Sedangkan Asisten Ahli dan Lecturer, mereka pada umumnya hanya bisa membimbing mahasiswa maksimal pada jenjang magister.

3. Entry level

Perbedaan cukup mencolok mulai terlihat jika kita membandingkan entry level.  Di Indonesia, kualifikasi pendidikan minimal yang Anda butuhkan kalau ingin menjadi dosen adalah master (S-2). Jaman dulu bahkan cukup bermodalkan gelar sarjana (S-1) kita sudah bisa mendaftar menjadi dosen. Sedangkan di negara-negara maju, mempunyai gelar doktor (S-3) adalah syarat wajib. Itu pun masih belum cukup. Pada umumnya, para doktor yang baru lulus terlebih dulu akan menempuh posisi post-doctoral sekitar 1-2 tahun, baru kemudian mendaftar sebagai dosen. Sistem yang agak berbeda terjadi di Perancis, Jerman, dan Austria. Disana, para doktor baru yang ingin menjadi dosen harus menulis Habilitation, semacam riset lanjutan dari disertasi doktoralnya yang ditempuh dalam masa 2-3 tahun. Sekedar informasi, B. J. Habibie juga menulis Habilitation setelah lulus S-3 di tahun 1965, walaupun akhirnya beliau menolak posisi dosen di RTWH Aachen dan lebih memilih untuk bekerja di industri.

Mengapa kesannya kok tinggi sekali persyaratan yang dibutuhkan untuk menjadi dosen di luar negeri? Jawabannya kita kembalikan kepada fungsi yang dijalankan oleh dosen. Selain mengajar, seorang dosen juga diharapkan untuk menjadi seorang peneliti. Berbeda dengan peneliti di industri yang harus menyesuaikan dengan kebutuhan perusahaannya, sifat penelitian dosen adalah lebih independen. Sekarang darimana seorang dosen bisa memperoleh skill untuk menjadi peneliti yang independen? Pendidikan doktoral lah jawabannya. Setelahnya, post-doctoral dan habilitation juga dilakukan untuk mengasah skill tersebut.

Tidak heran jika di luar negeri, seorang yang mendaftar sebagai dosen publikasinya sudah banyak. Dulu pernah ada lowongan di research group tempat saya S-3. Saya iseng-iseng cek profil para calon. Mentereng sekali! Mereka punya beberapa paper yang terbit di top journals. Sedangkan dulu ketika daftar dosen di tahun 2012, saya hanya punya publikasi berupa dua makalah yang terbit di prosiding, tanpa journal papers sama sekali. I am not proud of it.

Tetapi tidak bisa disalahkan juga kondisi yang terjadi di Indonesia. Pertama, kualitas pendidikan tinggi di Indonesia masih timpang. Kalau dipaksakan calon dosen minimal harus bergelar doktor, bisa-bisa lowongan dosen di daerah bakal kosong melompong.

Kedua, kondisi di negara-negara maju memungkinkan seseorang untuk “terus-terusan sekolah” sampai akhirnya menjadi dosen. Rata-rata di luar negeri orang lulus S-3 pada usia 28-30 tahun. Hal ini dikarenakan lowongan dan beasiswa S-3 tersedia cukup banyak. Pendidikan S-3 itu tidak hanya dibiayai dengan dana dari pemerintah, tetapi juga dari dana yang berasal dari kerjasama antara kampus dengan industri. Mekanisme itu belum ada di Indonesia. Di tanah air, justru orang baru bisa mendaftar beasiswa S-3 kalau sudah menjadi dosen.

Kompleksitas masalah pendidikan tinggi di Indonesia

Kompleksitas masalah pendidikan tinggi di Indonesia

4. Tenure/permanent position

Di Indonesia, memperoleh posisi tetap (tenure) itu mudah. Saya diterima CPNS dosen di ITB pada usia 26 tahun, berbekal gelar master, dan tanpa publikasi ilmiah di jurnal internasional. Saat itu juga lah posisi saya sudah permanen sebagai dosen. Diklat prajabatan menurut saya hanya masalah administratif untuk mengubah status CPNS menjadi PNS. Secara peraturan, saya sudah menjadi dosen tetap sampai tiba waktu pension. Kecuali melakukan pelanggaran kelas berat, saya tidak bisa dipecat dari kampus.

Sedangkan di negara-negara maju, memperoleh permanent position itu sulit. Kembali ke poin no. 3 (entry level). Setelah lulus S-3, menempuh post-doc dan diterima sebagai Assistant Professor, seorang dosen di luar negeri harus bekerja keras supaya posisinya bisa permanen. Di banyak negara, Assistant Professor sifatnya kontraktual dan merupakan masa percobaan (probationary period). Untuk bisa permanen menjadi Associate Professor, biasanya dibutuhkan sejumlah publikasi ilmiah di top international journals dalam jangka waktu 3-5 tahun. Kalau gagal? Ya dipecat dari kampus, hehe.

Bukannya saya bilang bahwa dosen di Indonesia tidak perlu bekerja keras. Tetapi kalau dibandingkan, memang persyaratannya cukup jompalng. Secara resmi, setiap kali naik jabatan hanya dibutuhkan satu makalah di jurnal. Sisanya bisa dipenuhi dari makalah di prosiding, unsur pendidikan seperti mengajar dan membimbing, dan pengabdian masyarakat. Hal ini terkait dengan sistem penilaian angka kredit kita yang terkait dengan kum (poin) dari unsur tridharma pendidikan tinggi. Di luar negeri tidak seperti itu. Publikasi ilmiah adalah faktor utama untuk menilai kinerja seorang dosen.

5. Produktivitas penelitian

Melakukan komparasi di faktor ini sebetulnya membuat kita sedih. Menurut data dari SCImago, jumlah publikasi ilmiah di Indonesia pada tahun 2014 adalah 5.499 makalah. Bahkan jika dibandingkan dengan negara kecil seperti Belanda, jumlah publikasi ilmiah mereka sejumlah 50.732, atau hampir 10 kali lipat!

Sebetulnya jumlah publikasi ilmiah kita yang sedikit itu agak aneh. Selama 3-5 tahun studi S-3 di luar negeri, rata-rata dosen kita mampu menghasilkan 3-5 journal papers. Jika ditambah dengan conference papers, jumlahnya bisa sekitar 5-10 makalah. Artinya, secara individu dosen-dosen Indonesia memiliki kemampuan untuk meneliti dan membuat makalah ilmiah. Namun, ketika sudah kembali ke tanah air, kenapa produktivitasnya menurun drastis? Hipotesisnya, jika individu (dosen) sudah capable, berarti ada yang salah dengan sistem.

Alasan klasik adalah dosen terlalu banyak melakukan pekerjaan administrasi, missal untuk mengurus kenaikan jabatan fungsional atau ketika menjadi panitia akreditasi. Saya setuju. Tetapi harus kita lihat bahwa di luar negeri pun dosen juga melakukan kegiatan administratif. Meskipun tidak seheboh di Indonesia, pastinya tetap memakan waktu. Namun, mereka tetap bisa produktif menulis.

Penyebab yang lain adalah dosen terlalu sibuk di luar kampus untuk menambah pemasukannya. Memang tidak bisa disalahkan. Pendapatan dari kampus yang belum mencukupi membuat dosen menjual jasanya dengan menjadi konsultan, narasumber, atau tim ahli. Saya pun pernah merasakan hal ini. Pernah dalam satu periode saya harus ke Jakarta setiap dua hari dalam seminggu. Dengan kondisi seperti ini, mana mungkin saya punya waktu untuk meneliti, sementara saya pun masih punya kewajiban untuk mengajar.

Satu faktor yang kadang dilupakan orang adalah sebetulnya sistem kita sendiri yang tidak mendorong dosen untuk meneliti dan mempunyai publikasi ilmiah dalam jumlah yang memadai. Kembali ke poin 4 (permanent position). Di luar negeri, dosen rajin untuk publikasi karena sistem mempersyaratkan hal itu. Tanpa publikasi, dia tidak akan bisa memperoleh posisi tetap. Namun, lingkungan kerjanya juga mendorong. Selain dana riset yang tersedia, penghasilan dosen pun sudah mencukupi sehingga tidak perlu lagi sibuk di luar kampus.

6. Relasi dengan industri

Saya pernah menulis mengenai hal in di satu artikel yang dimuat di Detikcom. Disitu saya menyoroti bahwa keterlibatan industri untuk memajukan penelitian di Indonesia itu masih rendah. Selama ini memang sering kita temui dosen terlibat aktif di Kementerian, BUMN, maupun industri swasta. Biasanya keberadaan mereka disana untuk menjadi tim ahli maupun konsultan dari suatu proyek tertentu.

Meskipun kegiatan tersebut bisa dikategorikan sebagai pengabdian masyarakat, tetapi harus kita akui bahwa kontribusinya untuk kemajuan penelitian sangat minim. Paling banter proyek dosen bakal menjadi skripsi S-1 atau tesis S-2. Sedangkan untuk menjadi disertasi S-3, sangatlah sulit. Pertama, sifat proyek biasanya aplikatif. Kedua, paling lama proyek berlangsung dalam satu tahun anggaran. Ketiga, output yang diharapkan perusahaan dari proyek adalah terselesaikannya masalah mereka. Sangat jarang yang menyertakan output berupa makalah ilmiah sebagai salah satu dari output proyek tersebut.

Di negara-negara maju, dosen pun menjalin kerjasama dengan industri. Namun, tujuan utamanya adalah mencari dana untuk penelitian. Bahkan, kemampuan untuk mendatangkan dana riset menjadi salah satu faktor untuk mengevaluasi kinerja seorang professor.

Kerjasama yang terjalin antara kampus dengan industri biasanya berlangsung jangka panjang, sekitar 3-5 tahun. Dana yang didapat dipakai oleh dosen untuk merekrut mahasiswa S-3 yang akan melakukan penelitian. Dosen sama sekali tidak bisa mengambil keuntungan dari dana penelitian tersebut.

Lagi-lagi, iklim di luar negeri memungkinkan hal ini terjadi. Industri di negara maju sudah familiar dengan penelitian, terbukti dengan banyaknya lulusan S-3 yang direkrut untuk menjadi peneliti di perusahaan. Sehingga, kerjasama penelitian dengan kampus dalam jangka panjang dianggap sebagai investasi yang menguntungkan. Dari sisi kampus, mereka pun mendapatkan keuntungan. Mereka mempunyai dana untuk memperkerjakan mahasiswa S-3 yang mana bakal berdampak ke jumlah publikasi kampus.

7. Sistem remunerasi

Ada yang bilang kalau menjadi dosen di luar negeri itu enak, karena pendapatannya tinggi. Jika ukurannya hanya pendapatan, saya tidak sepenuhnya setuju dengan pernyataan ini.

Mari kita bandingkan. Pendapatan resmi seorang Guru Besar (GB) adalah sekitar 18 juta rupiah per bulan. Angka itu didapatkan dari gaji pokok sekitar 5 juta, tunjangan sertifikasi, tunjangan kehormatan GB, dan kalau di ITB masih mendapatkan honor mengajar. Sedangkan kalau kita ambil contoh di Belanda, seorang dosen dengan grade paling tinggi mempunyai gaji kotor Euro 8971/bulan. Pajak di Eropa tinggi, sekitar 40%. Maka dalam sebulan yang bisa dibawa oleh Professor di Belanda sekitar Euro 5500 atau dengan kurs sekarang sekitar 77 juta rupiah/bulan.

Namun, kembali ke bahasan di poin 5 dan 7. Dosen di Indonesia dimungkinkan untuk mencari penghasilan di luar kampus. Sangat dimungkinkan dosen bisa mempunyai penghasilan 50 juta rupiah/bulan kalau rajin mengerjakan proyek di luar kampus. Belum lagi masih banyak kegiatan yang mendapatkan honor. Misal menjadi panitia di kampus, atau menjadi narasumber di Kementerian. Dengan biaya hidup Indonesia yang lebih rendah dari Eropa, angka 50 juta rupiah itu rasanya lebih nyaman untuk hidup dibandingkan dengan Euro 5500.

Sedangkan di luar negeri, pendapatan adalah hanya dari gaji saja. Meskipun mempunyai kerjasama sebanyak apapun dengan industri, meskipun dana yang didapatkan sejumlah 1 juta Euro, tidak ada sepeserpun dari dana itu yang bisa dijadikan honor tambahan dosen. Dosen bisa mengelola dana 1 juta Euro itu untuk merekrut mahasiswa S3, menghadiri international conferences, atau membeli peralatan laboratorium baru, namun , tidak akan pernah ada yang bisa masuk rekeningnya untuk men-top up gaji bulannya. Segala macam kegiatan dosen sudah termasuk ke dalam full time employment (FTE), sehingga tidak ada bayaran tambahan yang lain.

Dari sini kita cermati bahwa filosofinya memang berbeda dengan di Indonesia. Contoh, dosen kalau mendapatkan dana penelitian dari DIKTI, secara legal ada sejumlah komponen dari dana riset yang bisa dimasukkan menjadi honor dosen.

Apakah sistem remunerasi di Eropa yang rigid ini bagus? Menurut saya iya, karena dengan tidak dimungkinkannya untuk mencari tambahan penghasilan, dosen bisa fokus ke pekerjaan utamanya, dalam ini adalah memajukan penelitian.

Namun, lagi-lagi sistem tersebut bisa berjalan karena banyak faktor pendukungnya. Paling utama adalah gaji pokok yang diberikan sudah mencukupi, sehingga dosen tidak perlu pusing-pusing lagi mencari tambahan penghasilan. Jika berbicara dalam konteks yang lebih makro, di luar negeri fasilitas umum yang disediakan oleh negara sudah bagus, sehingga dosen pun tidak perlu keluar biaya ekstra untuk mendapatkan fasilitas yang lebih bagus. Contoh sederhana, di Eropa dosen tidak memiliki mobil pun tidak masalah, karena naik metro dari rumah ke kantornya nyaman. Beda dengan di Indonesia, dosen perlu memiliki mobil karena kalau naik angkot tidak nyaman. Belum lagi kalau berbicara masalah pendidikan anak, kesehatan, dsb.

Kesimpulan

Walaupun fungsi dasar yang dijalankan oleh dosen di Indonesia dengan dosen di luar negeri sama, dalam beberapa hal detail banyak perbedaan yang fundamental. Berbagai perbedaan yang terjadi sistemik itu dimungkinkan menjadi faktor penyebab kenapa kualitas pendidikan tinggi kita kalah jauh dengan di negara-negara maju.

Menyelesaikan masalah hanya dari satu faktor kemungkinan besar tidak akan bisa menyelesaikan masalah pendidikan tinggi secara keseluruhan. Dibutuhkan usaha dan komitmen dari pemerintah untuk memperbaikinya. Selain itu, kritik dan masukan dari dosen sebagai pelaku utama pendidikan tinggi mutlak dibutuhkan. Jika dosen sudah puas ada di zona nyaman tanpa pernah memberikan ide-ide perbaikan, rasanya pemerintah tidak bisa selalu dijadikan kambing hitam atas rendahnya kualitas pendidikan tinggi Indonesia.

Rully Tri Cahyono
Dosen di Institut Teknologi Bandung
Groningen, 23 Juli 2015, jam 14:35 CEST

Baca juga: Pengelolaan Penelitian di Belanda yang Simpel, Efisien dan Kompetitif

Advertisement

Author: Rully Cahyono

Pengajar yang terus belajar

7 thoughts on “Dosen Indonesia vs Dosen Luar Negeri

  1. Kepada Yth. Bapak Rully Tricahyono.

    Salam kenal, Pak. Saya Ario Dean, mahasiswa TI ITB angkatan 2011. Senang sekali rasanya membaca ulasan Bapak ini karena selain membuka wawasan saya yang memang punya cita-cita sama seperti Bapak tapi juga bisa dijadikan sebagai pembuka wawasan bagi orang yang benar-benar “awam”.

    Semoga studinya lancar Pak di Belanda. Saya memang hanya pernah bertemu sekali dengan Bapak di kelas Probstat tapi saya berharap bisa berinteraksi lebih banyak dengan Bapak di masa depan.

    Salam.

    • Salam kenal Ario. Terima kasih sudah berkunjung ke blog saya. Alhamdulillah kalau ada minat jadi dosen. Saran saya, segera lanjut sekolah lagi, mumpung kesempatan beasiswa sedang banyak. Sambil melihat-lihat mana peluang yang terbaik nanti setelah lulus doktor. Apakah di industri/kampus, maupun di dalam/luar negeri. Salam.

  2. Saya boleh dibilang 95% setuju dengan konten tulisan mas Rully. Mengenai kerjasama dengan industri sendiri sebenarnya tidak bisa digeneralisir. Sebagai informasi, saat ini saya menempuh doktorand dalam bidang Technische Chemie di RWTH Aachen yang relatif aplikatif ditambah RWTH Aachen sendiri adalah uni di Jerman dengan pemasukan dari 3rd party (industri dan korporat) terbesar di Jerman sehingga prof2nya memiliki banyak proyek penelitian dengan industri. Dari apa yang saya alami, penelitian dari industri jarang dipublikasikan seringkali sifatnya rahasia dan ini terjadi di research group saya. Kami para mahasiswa doktorand, master atau postdoc hubungannya relatif dekat sehingga kadang secara tidak sengaja seringkali curhat tentang penelitiannya (yang mungkin adalah top secret dari suatu projek). Sehingga pernah prof saya mengirim email ke anggota grupnya bahwa, segala informasi yang pernah didengar (secara sengaja atau tidak) tidak boleh sampai bocor ke luar. Selain itu, mahasiswa yang mengerjakan projek penelitian dari perusahaan biasanya tidak diperbolehkan untuk publikasi di konferensi atau jurnal internasional. Output nya seringkali berupa patent.
    Kedua kembali pada masalah industri, saya rasa dalam hal ini boleh dibilang kita yang relatif punya topik aplikatif punya lebih banyak kesempatan untuk berhubungan dan dibiayai oleh industri tetapi bagi mereka yang bekerja dalam ilmu2 dasar sbg contoh fisika teoritis, kimia kuantum, ilmu sosial seperti sejarah, hukum atau sastra boleh dibilang mengandalkan komitmen dari pemerintah untuk menjalankan riset mereka. Dalam arti pemerintah yang menurut saya mengucurkan funding bagi mereka.

    mungkin itu sebagian pendapat dari saya.

    salam

    Wirawan

  3. Publish or Perish !!

  4. mestinya saya baca tulisan ini ketika mau berangkat sekolah di belanda dulu, bukan menjelang lulus sekarang ini hehe…
    analisis yg menarik.
    semoga visinya bisa termaterialisasi di Indonesia.

  5. Kalah Jauh dari MIT & STANFORD .

  6. Kasian yang ngambil pasca di dalam negeri, fasilitas riset tidak mendukung, promotor & co prom terlalu kelebihan beban bimbingan mulai S1, S2 & S3, sehingga Riset seolah2 menjadi momok bagi mahasiswa belum lagi output jurnal harus terindeks scopus.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s