Substansi

Ingin jadi wartawan, nyasar jadi guru

Mengapa Mahasiswa Tidak Jujur? Apakah Karena Takut Kalah?

Leave a comment

Pekan lalu saya sedang mengajar di kampus ITB Cirebon. Kolega yang sedang mengajar mata kuliah yang sama (kelas paralel) di kampus ITB Ganesha memberikan laporan bahwa mahasiswa yang masuk di dua kelas di sana hanya sekitar 30 orang, jauh dari total peserta kelas sejumlah 100. Walaupun masuk atau tidak masuk kelas adalah hak mahasiswa, situasi ini tentu janggal (beberapa kolega malah menganggap tidak etis). Saya meminta kolega untuk segera mencocokkan antara absensi online dengan kehadiran fisik di kelas. Benar saja, ada 9 mahasiswa yang mengisi absensi online, tapi tidak hadir di kelas. Pekan sebelumnya, di kelas yang sama, kolega memberi tahu bahwa ada beberapa mahasiswa yang terindikasi berbuat curang saat ujian. Dua kejadian beruntun tersebut memaksa saya untuk segera membuat laporan ke Ketua Program Studi (Kaprodi) Teknik Industri (TI) ITB.

Curang karena takut dapat nilai jelek

Singkat cerita, mahasiswa-mahasiswa di kelas saya tersebut dipanggil di hadapan Kaprodi, Koordinator Kemahasiswaan, Ketua Gugus Kendali Mutu (GKM) yang kebetulan saya sendiri, dan dosen yang bersangkutan. Kebetulan beberapa waktu ini cukup banyak laporan tindak kecurangan akademik mahasiswa di kelas-kelas yang lain, sehingga yang lain juga sekalian dipanggil. Soal absensi, alasan yang dikemukakan mahasiswa adalah mereka tidak masuk kelas karena belajar untuk ujian kelas lain yang akan diadakan esok hari, tapi di lain sisi khawatir absensi kurang dari 80%. Ada juga yang beralasan sudah telanjur mengisi absensi online, tapi terlambat datang, begitu hadir di kelas, kuliah sudah dimulai, akhirnya tidak jadi masuk. Apapun alasannya, jelas salah, dan sanksi sedang dijatuhkan untuk mereka. Sedangkan terkait keterisian kelas yang hanya 30 mahasiswa, alasannya mirip, sedang persiapan untuk ujian besok.

Di pertemuan tersebut, kami sebagai dosen bertanya, apakah soal curang isi absensi dan kelas kosong jika menjelang ujian itu lazim, mahasiswa membenarkan. Bahkan mereka bilang bahwa itu juga terjadi di prodi-prodi lain, tidak hanya di TI dan Manajemen Rekayasa (MR). Terus terang saya kaget mendengarnya. Dulu jaman jadi mahasiswa S-1 angkatan 2004, dua hal tersebut pasti pernah dilakukan oleh mahasiswa di jaman tersebut, tapi bahwa menjadi kelaziman, rasanya saya tidak pern ah ingat. Saya tanya lagi, apa yang membuat mereka berbuat seperti itu? Dari berbagai jawaban, saya simpulkan bahwa salah satu alasannya mereka takut mendapatkan nilai jelek. Anehnya, ketakutan mendapat nilai jelek ini juga terjadi untuk mahasiswa-mahasiswa yang masuk kategori pintar.

Peran lingkungan dan orangtua

Saya dan teman-teman kuliah dulu tentu juga takut dapat nilai jelek. Tapi sepertinya tidak menjadi gerakan yang masif seperti mahasiswa saat ini. Maka saya menyimpulkan bahwa mestinya ada sesuatu yang secara sistemik berbeda signifikan antara jaman saya dan jaman mereka. Mencari akar permasalahan ini menurut saya sangat penting. Mahasiswa-mahasiswa saya tersebut jelas salah dan sudah sepatutnya mendapatkan hukuman. Namun hanya menghukum tanpa mencari sebabnya tidaklah adil. Saya selalu berpendapat bahwa manusia tidak bisa memilih lahir di jaman yang mana. Contoh mereka sejak lahir sudah kenal dengan internet yang menyediakan banyak referensi, mengakibatkan pola belajar berbeda sekali dengan jaman saya yang sumber utama belajar adalah dari buku teks (textbooks).

Begitu pula ketakutan gagal (misal dapat nilai jelek) yang berlebihan ini, mestinya ada sebabnya yang sistematis. Dari sisi kompetisi, harus diakui makin ke sini tentu makin ketat. Contoh, kalau menurut cerita senior-senior di ITB angkatan 1970-an, dulu lulusan sarjana dengan IPK di bawah 3,0 itu tidak khawatir waktu melamar pekerjaan. Perusahaan Ketika itu tidak terlalu melihat IPK karena memang saingan (jumlah lulusan sarjana) juga sedikit. Di jaman saya (lulusan 2008), sudah menjadi common wisdom bahwa amannya lulus dengan IPK minimal 3,0, dan kalau mau diterima di perusahaan yang cukup bonafit, lebih baik jika IPK minimal 3,25. Jaman sekarang, kondisi sudah berubah cukup drastis. Tidak hanya syarat IPK minimal, tapi juga perusahaan sepertinya menyukai lulusan-lulusan baru (fresh graduates) yang memiliki beberapa pengalaman magang (internship). Permasalahannya, tidak semua mahasiswa menyikapi tuntutan “harus” magang ini dengan bijak. Beberapa kali saya mendapatkan permohonan izin dari mahasiswa untuk tidak hadir di 2-3 minggu awal perkuliahan, karena mereka masih magang. Tentu saya tidak izinkan. Kampus juga harus adaptif, perlu dibuat aturan khusus mengenai kapan boleh magang, tempat magang, berapa kali boleh magang, dsb. Karena mungkin saja dengan kesibukan di tempat magang, membuat mahasiswa keteteran di perkuliahan, sehingga menempuh cara-cara yang tidak jujur.

Selain lingkungan, dari sisi orangtua juga perlu dievaluasi. Di pertemuan tersebut saya bertanya, apakah kalian mendapatkan target tertentu dari orangtua? Jawabannya adalah iya. Sebetulnya saya tidak kaget mendengar jawabannya. Beberapa mahasiswa bimbingan skripsi bilang bahwa mereka oleh orangtuanya ditargetkan lulus cum laude. Saya tidak ingat dulu ada teman kuliah yang ditarget semacam ini. Harus diakui bahwa jaman sekarang bukan hanya anak yang ambis, tapi juga orangtuanya, bahkan sudah terlihat sejak Pendidikan dasar. Sebagai anak desa yang oleh orangtua dibebaskan (asal bertanggung jawab) memilih sekolah, kuliah, pekerjaan, ditambah lagi lama tinggal di Belanda yang mind set pendidikannya santai, jujur saya alergi dengan lingkungan dan orangtua yang ambis. Namun lagi-lagi, kita harus menimbang secara adil. Belum tentu sepenuhnya salah orangtua jika mereka ambis. Orangtua saya dan orangtua teman-teman saya kalau berada di jaman sekarang bisa jadi juga ambis. Tuntutan masuk dunia kerja yang makin ketat, kemudahan informasi dalam melihat “keberhasilan” anak orangtua lain yang ditayangkan di media sosial, dan latar belakang demografi orangtua jaman sekarang (kelahiran 1960-an akhir dan 1970-an awal) yang mayoritas berpendidikan tinggi, sehingga standarnya berbeda dengan orangtua jaman dahulu.

Siap menang, siap kalah

Memang kadang saya tidak habis pikir dengan mahasiswa saat ini. Dua tahun lalu sekalompok mahasiswa dijatuhi sanksi karena bekerjasama pada saat tes awal praktikum. Lebih ajaibnya lagi, mereka ini semuanya calon cum laude, yang tentu saja batal CL karena kasus tersebut. Apakah sebegitu menakutnya tidak dapat nilai 80 atau 90 sehingga mahasiswa berbuat tidak jujur, tentu kita semua patut prihatin. Tulisan ini adalah pengantar untuk menguak fenomena mahasiswa jaman sekarang. Detailnya bagaimana menyikapinya, akan saya bahas di artikel selanjutnya. Namun, perlu kita tekankan bahwa kuliah itu bukan kompetisi. Boleh ingin dapat nilai bagus, tapi harus dengan cara-cara yang jujur. Lagipula pertanyaan yang lebih mendasar, apakah harus selalu dapat nilai bagus? Non scholae sed vitae discimus, sekolah itu bukan hanya untuk mendapatkan gelar (apalagi nilai), tapi untuk belajar hidup. Belajar kadang menang, belajar kadang kalah.

Advertisement

Author: Rully Cahyono

Pengajar yang terus belajar

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s