Sore hari itu suasana di Rumah Pintar Astra Nuurul Falaah tampak sepi. Pandemi COVID-19 membuat tidak adanya riuh rendah suara santri dan santriwati yang mengaji. Di depan bangunan sederhana itu terbentang sebuah jalan kecil yang menjadi satu-satunya akses. Jalan yang hanya muat satu sepeda motor itu juga lengang. Mungkin gerimis dan dinginnya udara Kota Kembang telah membuat warga malas beranjak keluar rumah. Namun tidak bagi Yayat Rustandi. Pria yang berumur 43 tahun itu dengan antusias menceritakan secara rinci sejarah dan perkembangan TK dan taman pendidikan Al-Qur’an (TPQ) nya.
Pak Yayat, demikian ia biasa dipanggil, telah membaktikan lebih dari separuh hidupnya untuk pendidikan usia dini dan agama Islam bagi warga sekitar Kampung Mengger, Kelurahan Pasirluyu, Kota Bandung. Mengurus TK dan TPQ dilakukan di tengah-tengah kesibukannya sebagai konsultan manajemen. Seperti ketika itu, saya baru bisa menemuinya sore hari menjelang Maghrib. Pasalnya, memang Pak Yayat harus bekerja untuk menafkahi hidupnya dan juga keluarganya. Ia tidak mendapatkan (dan juga tidak mengharapkan) honor atas jerih payahnya selama ini setiap saat mengurus 80 siswa PAUD dan TK serta 350 santri dan santriwati. Semua dilakukan secara sukarela untuk memenuhi panggilan jiwanya.
Keterbatasan mimpi Kampung Mengger
Sebelum menjadi rumah pintar, terlebih dahulu telah berdiri TPQ Nuurul Falaah sejak awal tahun 90-an. Walaupun sadar akan pentingnya fasilitas demi pendidikan dasar yang berkualitas, pengurus tidak semudah itu mewujudkannya. TPQ tersebut berada di tengah-tengah perkampungan padat penduduk yang rumahnya berdempet-dempet seperti berebutan bernafas. Sebuah potret yang jamak di Kota Bandung, di mana tidak semua aspek kehidupan warga perkotaan telah direncanakan dengan matang oleh pembuat kebijakan. Meningkatkan fasilitas TPA, akan turut membebani orang tua siswa dengan kenaikan biaya SPP. Sebuah opsi yang tidak mungkin untuk warga sekitar yang pekerjaannya berkisar dari karyawan kelas menengah ke bawah, wiraswasta kecil, dan juga asisten rumah tangga.
Masalahnya, seorang anak walaupun lahir di tengah keluarga tidak mampu sebetulnya masih sepenuhnya memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Sayangnya di Indonesia hal ini terkadang tidak gampang untuk diwujudkan. Saya teringat dulu ketika tinggal di Belanda untuk studi lanjut. Di sana, hampir tidak ada dampaknya latar belakang keluarga seorang anak terhadap masa depannya. Setiap anak bisa mengakses pendidikan gratis yang kualitasnya tidak hanya mumpuni, namun juga setara di seantero negeri. Itu semua didapatkan dengan gratis, karena Belanda memiliki cukup dana.
Apakah tidak mungkin mengadakan pendidikan berkualitas di Indonesia? Mungkin saja. Tetapi seperti yang telah disampaikan, hanya mereka yang berduit yang mampu membayar fasilitas tersebut. Anak-anak orang berada ini, lima belas, dua puluh tahun lagi akan terbuka lebar kesempatan hidupnya. Sementara bagi anak-anak seperti di Kampung Mengger, kelak sebagian besar kesempatannya bakal seperti gang-gang di tanah kelahirannya, ruwet dan berbelit-belit. Tidak sampai 2 kilometer keluar dari permukimannya, anak-anak itu akan disuguhi mobil-mobil bagus yang berlalu lalang dan segala macam kemewahan yang lain. Tetapi mereka kesulitan untuk mengaksesnya. Bukan karena bodoh dan tidak mau belajar, tetapi lebih karena kurangnya kesempatan. Memang tidaklah adil, namun itu adalah sebuah fakta yang tidak bisa dimungkiri di negeri ini.
Cepat dan tanggap
Sebetulnya kondisi seperti di Kampung Mengger cukup ironis. Ketika bercakap-cakap di lantai dua, terlihat di kejauhan bangunan-bangunan berdiri megah. Kampung tersebut memang berada di belakang Jalan Soekarno-Hatta, yang mana banyak terdapat kantor-kantor korporasi besar. Pak Yayat hanya menjelaskan dengan santun, bahwa sejak dua puluhan tahun lalu dia mengurus TPA, belum pernah sekalipun pemodal-pemodal besar tersebut proaktif mengulurkan tangan untuk warga yang notabene ada di “pintu belakang kantornya”.
Semua berubah saat Astra Biz Center mulai beroperasi di sekitar tahun 2014. Melalui program corporate social responsibility (CSR) nya, Astra tanggap mencari daerah binaan di lingkaran terdekat (ring 1) yang dapat dibantu untuk dijadikan Kampung Berseri Astra (KBA). Melihat usaha keras Pak Yayat yang selama ini sudah mempelopori pendidikan dasar dan agama, Astra bekerjasama dengan RW setempat untuk menaikkan kelas TPA Nuurul Falaah Pasirluyu.
Prosesnya cepat dan tanggap. Tidak sampai setahun, KBA Pasirluyu sudah beroperasi. Astra menggelontorkan dana untuk merenovasi bangunan. Bangunan TK dan TPA menjadi lebih layak. Astra juga memberikan bantuan fasilitas berupa buku pelajaran, buku bacaaan, alat peraga pendidikan, dan juga komputer dan audio visual. Bukan hanya siswa TK dan santri Nuurul Falaah yang merasakan dampaknya. Pemuda dan masyarakat sekitar dapat pula turut memperkaya ilmu dengan bahan bacaan serta mengasah keterampilan dengan komputer-komputer yang tersedia. Bagai gayung bersambut, aksi dari Astra di medio 2015 tersebut kebetulan selaras dengan program rumah pintar yang diluncurkan Presiden SBY ketika itu.

Ruang multimedia di KBA Pasirluyu. Siswa TK dan santri mendapatkan pembaharuan fasilitas tanpa dikenakan penambahan biaya pendidikan.
Fasilitas yang meningkat drastis membuat kegiatan belajar mengajar dan kepemudaan menjadi lebih semarak. Namun yang terpenting bagi masyarakat, peningkatan fasilitas tidak harus dibarengi dengan peningkatan biaya SPP. Dengan fasilitas yang lengkap, per bulan siswa TK membayar SPP sebesar Rp 30.000 dan santri/santriwati yang mengaji membayar Rp 15.000. Pak Yayat berprinsip untuk memberikan biaya yang serendah mungkin bagi warga sekitar. Saya terharu mendengar rincian biaya ini. Sebagian kita dengan mudah menghabiskan uang sejumlah itu sekali duduk di restoran cepat saji. Namun bagi warga di Kampung Mengger, jumlah itu bisa jadi adalah hasil menyisihkan uang belanja setiap hari, untuk menjamin pendidikan anak-anaknya.
Usaha Pak Yayat dan Astra tidak berhenti sampai di sini. Setelah KBA Pasirluyu beroperasi, Yayasan Amaliah Astra menyalurkan beasiswa kepada 105 anak-anak di Kampung Mengger. Secara rutin sampai dengan hari ini, siswa SD sampai mahasiswa kuliah mendapatkan bantuan sekitar Rp 500.000 sampai dengan Rp 1.250.000 per bulan. Pak Yayat-lah yang membuat kriteria penerima beasiswa, melakukan pendataan, dan menyalurkan beasiswa tersebut.
Usaha orang-orang seperti Pak Yayat ini dilakukan dengan sepi, tanpa publikasi, namun sangat besar artinya. Semua dapat terlaksana berkat bantuan proaktif dari Astra. Ini membuktikan bahwa korporasi dapat berkontribusi secara nyata terhadap masyarakat. Apalagi dalam hal pendidikan. KBA Pasirluyu turut membuka jalan dan kesempatan bagi anak-anak Kampung Mengger. Untuk berani bermimpi, supaya kelak bisa mengangkat harkat dan kehidupannya di masa depan.
Teruslah berkarya, Pak Yayat. Teruslah berbagi, Astra. Karena mereka yang membangun pendidikan, telah turut menyiapkan peradaban.