Substansi

Ingin jadi wartawan, nyasar jadi guru

Kesempatan dalam Pendidikan

Leave a comment

Sukarno di biografinya yang berjudul “Sukarno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” bilang kalau tujuannya setelah lulus Hogere Burgerschool (HBS) di Surabaya adalah melanjutkan kuliah di Negeri Belanda. Apa daya, cita-citanya itu kandas karena terbentur biaya. Betul bahwa orangtua Sukarno adalah bangsawan. Namun, pekerjaan bapaknya hanyalah sebagai guru sekolah dasar. Untuk mengirim anaknya di HBS Surabaya (SMA elit se Hindia Belanda pada masanya) saja, Raden Sukemi sudah ngos-ngosan. Sukarno pun tidak mempunyai keluarga besar yang kaya raya seperti keluarga Hatta dan Syahrir yang mampu membiayai kuliah mereka berdua di Eropa. Bagi siswa HBS yang cemerlang seperti Sukarno (bahkan prestasinya tidak kalah dari murid-murid yang berbangsa Eropa), situasi ini membuat frustrasi. Atas bujukan ibunya, barulah anak muda yang baru beranjak 20 tahun itu melunak. Sukarno akhirnya kuliah di pilihan yang lebih masuk akal, di Institut Teknologi Bandung (ketika itu masih bernama Technische Hoogeschool te Bandoeng).

Ketimpangan akses pendidikan

Sejak mula, pendidikan tinggi adalah hak istimewa (privilege). Di tahun 1920, Sukarno yang anak priyayi berjuang sekuat tenaga untuk bisa sekolah lanjut. Diceritakan di buku yang sama bahwa keluarga Sukarno tidak pernah menikmati kemewahan -tidur di kasur pun tidak- supaya anaknya bisa sekolah. Kalau anak seorang priyayi saja harus bersusah-susah seperti itu, apalagi anak orang kebanyakan. Di masa itu, hampir mustahil anak kawula (petani, buruh, pedagang kecil) bisa bersekolah. Bisa membaca tulispun merupakan sebuah keistimewaan.

Ketimpangan semacam itu yang membuat Sukarno, Hatta, Syahrir, dan para bapak bangsa yang lain memilih jalan menjadi martir. Ya, martir, karena mereka telah berkorban dengan sebesar-besarnya. Bayangkan, kalau mereka ambil jalan yang ‘normal’ (lebih lazim) di masa itu, hidupnya akan enak. Lulus HBS jadi pangreh praja (pegawai pemerintah) bisa menikmati segala kenikmatan duniawi. Ini malah memilih jalan perjuangan. Dibayar tidak, dipenjara dan diasingkan yang didapatkan. Tidak ada yang menyuruh Sukarno dkk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Mereka balik kanan tidak meneruskan perjuangan juga tidak berdosa (menurut saya). Ibaratnya sama dengan lulusan baru (fresh graduate) dari kampus-kampus ternama. Ada kesempatan hidup makmur terbuka lebar dengan jalan bekerja di perusahaan-perusahaan besar, malah misalnya nyeleneh bikin sekolah di pedalaman Papua.

Tetapi kembali, keluhuran budi dan keikhlasan yang membuat Sukarno dan kawan-kawan mengambil jalan yang terjal dan berliku. Melihat bahwa kolonialisme telah memeras habis tidak hanya isi bumi tanah air, tetapi juga harga diri bangsanya. Orang pribumi tidak berani berdiri sama tinggi dengan bangsa kulit putih, dan memang sengaja dibuat seperti itu. Pendidikan hanya bisa diakses golongan tertentu, sehingga bangsa sendiri akan tetap bodoh, miskin, dan yang paling gawat, menerima kebodohan dan kemiskinan tersebut sebagai guratan nasib.

Kesetaraan bersekolah

Sudah 100 tahun lewat sejak para bapak bangsa menemukan kesadarannya. Sayangnya, dalam hal akses pendidikan, walaupun membaik keadaan tidaklah berubah signifikan. Mereka yang bisa bersekolah kemungkinan besar yang keluarganya mampu, atau setidaknya punya cukup keberanian untuk bermimpi. Anak-anak buruh tani, buruh pabrik, asisten rumah tangga secara empiris tetap sulit untuk menggapai pendidikan tinggi. Siklusnya bakal berputar terus, cucu-cucu mereka bakal mengalami nasib yang kurang lebih sama. Pahit, tapi memang itu realita. Tidak cuma masalah biaya. Dari kecil makannya beda, maka asupan gizi berbeda pula. Belum lagi kesempatan bimbingan belajar, dan hal-hal remeh seperti motivasi dari keluarga, yang tidak semua anak mendapatkan itu secara gratis. Padahal mengenai pentingnya pendidikan, tidak perlu diragukan. Pattimura, Imam Bonjol, dan Diponegoro ratusan tahun mengangkat senjata, hasilnya marjinal. Sementara kurang dari lima puluh tahun sejak Kebangkitan Nasional, Indonesia sudah mencapai gerbang kemerdekaan. Pena terbukti lebih tajam dari pedang.

Adilkah ini? Jelas tidak. Pendidikan (dan juga kesehatan) adalah hak setiap anak di Indonesia. Negara yang maju adalah tempat di mana setiap anak dapat bermimpi untuk menjadi apapun, dapat bercita-cita untuk bersekolah setinggi mungkin, tanpa harus takut terlahir dari keluarga yang tidak memiliki dukungan untuk mencapai harapannya tersebut. Bukan hal mudah tentu saja untuk mewujudkan itu.

Terkadang saat pulang ke kampung halaman, saya sering melihat sungai tempat bermain dulu bersama teman-teman sebaya. Dua puluh lima tahun yang lalu kami menceburkan diri ke dalamnya. Kadang-kadang juga menghanyutkan batang pisang yang dinaiki beramai-ramai.

Saya mengasihani kawan-kawan yang peruntungannya sampai sekarang tak kunjung beranjak dari guratan nasib nenek moyangnya. Anak-anak mereka kelak pun bernasib sama. Tapi saya terkadang lebih kasihan lagi, jika kegelisahan saya sudah dianggap sebagai topik yang harus dipikirkan. Karena buat orang-orang desa, itulah sudah sewajarnya nasib. Keluarga saya mampu, saya bisa sekolah. Keluarga kawan-kawan kurang beruntung, mereka tak menyesali nasib. Mungkin wajar adanya, tinggal menjadi guratan takdir yang harus dijalani. Ha! Kekalahan sampai di alam pikir ini, bukankah yang dikhawatirkan Sukarno dan Hatta seabad yang lalu?

Namun saya tidak tahu, apakah yang berkuasa di negeri ini pernah terlintas dalam benaknya. Saat semua orang bisa menggapi cita-cita tanpa peduli latar belakang keluarganya, itulah negara yang sebenar-benarnya telah berhasill. Karena setelah melihat dunia saya percaya betul dengan apa yang diperjuangkan bapak-bapak bangsa. Nasib manusia bukanlah seperti aliran sungai yang melulu harus dituruti. Mereka yang berkuasa di negeri bisa membuat dam, membelokkan saluran, atau menambah derasnya arus air.

Bandung, November 2020

Advertisement

Author: Rully Cahyono

Pengajar yang terus belajar

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s