Substansi

Ingin jadi wartawan, nyasar jadi guru

Studi banding

Leave a comment

Beberapa hari ini saya dan isteri sering membicarakan hal ini:

Bakal sulit mengetahui pengelolaan kesehatan di negara maju, kalau tidak pernah mengalaminya secara langsung. Kalau tidak pernah tinggal Belanda, rasanya kami akan sulit membayangkan, bahwa setelah bayi lahir, posyandu yang akan datang ke rumah untuk melakukan pengecekan, dan setelahnya ada perawat yang membantu di rumah selama seminggu. Hal-hal lain seperti orangtua yang diberikan hotel (gratis) kalau anaknya dirawat di NICU, surat dari posyandu setiap kali menjelang jadwal imunisasi, dan kontrol dokter yang dijadwalkan dua bulan sebelum, bakal terdengar seperti hal yang tidak lazim. Apalagi perintah posyandu untuk “membiarkan” anak menangis, guna melatihnya tidur sendiri dan duduk di car seat, akan terdengar aneh, karena tidak sesuai dengan kebiasaan orang-orang tua. Padahal di negara maju, hal seperti itu justru menjadi standar pelayanan yang seragam di seluruh negeri.

Kalau tidak melihat secara langsung, mungkin kami tidak percaya, bahwa dengan pendidikan, sebuah negeri yang separuhnya sudah tidak percaya Tuhan, dan tidak menerima pengajaran agama di sekolah, bisa menghasilkan warga-warga yang berperilaku jujur dan santun. Baru setelah menyaksikan, kami mengerti bahwa negara memberikan paket buku gratis ke setiap bayi yang sudah berumur tiga bulan itu memang ada manfaatnya. Bahwa meminta murid untuk tertib antri dan tepat waktu itu tidak hanya dengan perintah lisan, tetapi melalui praktik langsung sejak anak-anak berusia sangat muda. Lebih-lebih, kami mendapatkan justifikasi, bahwa mengajakan anak membaca dan berhitung di usia 7-8 tahun itu pun tak masalah. Toh saat sudah dewasa, terbukti hasil mereka lebih mumpuni dibandingkan kita.

Begitu pula dalam hal transportasi. Sebelumnya kami tidak terlalu mempedulikan. Ternyata, aspek-aspek tambahan seperti fasilitas locker di stasiun, tempat stroller di bis, dan pengaturan flow manusia di stasiun memang harus dirancang secara rinci, untuk memanusiakan pengguna transportasi publik.

Bahkan dalam hal-hal kecil, perspektif kami menjadi lebih luas. Contoh, apakah masih valid bahwa Indonesia adalah negara yang bangsanya ramah dan sopan? Apakah bangsa barat yang meminta haknya itu dianggap kasar? Jika ada orang yang meminta orang yang merebut antriannya untuk mundur, meminta orang lain yang buang sampah sembarangan, untuk memasukkan sampahnya itu ke tong, dan meminta peserta rapat yang berisik untuk diam/keluar ruangan, apakah itu tidak sopan? Orang-orang yang sama, adalah masyarakat yang terbiasa untuk memberikan antriannya ke pengantri di belakangnya, yang belanjaannya lebih sedikit.

Dengan tinggal untuk beberapa saat di negara maju, banyak hal-hal positif yang bisa disaksikan, dialami, dipelajari, dan diambil hikmahnya. Maka kami berkesimpulan, alangkah baiknya jika yang membuat kebijakan dan menjalankannya di Indonesia, bisa mendapat pengalaman semacam itu. Pegawai-pegawai pemda bisa ikut bekerja di kantor-kantor pemerintahan Jepang selama 6 bulan, untuk belajar standar pelayanan yang tinggi. Pembuat kebijakan bisa magang berbulan-bulan di Belanda, mengambil pelajaran dari negara yang kualitas pelayanan kesehatannya nomor satu di Eropa. Begitu pula guru-guru SD dari berbagai daerah bisa ikut mengajar di Skandinavia selama setahun. Setelah kembali, mereka akan terbuka lebar wawasannya. Sekaligus bisa menularkan semangat ke rekan-rekannya yang lain.

Kami yakin dengan memberikan kesempatan untuk tinggal dalam waktu yang cukup (tentu saja dengan fasilitas yang tidak berlebihan), bakal memberikan pengalaman yang berharga bagi para pembuat dan pelaksana kebijakan. Apalagi jika dibandingkan dengan kegiatan-kegiatan semacam studi banding, apakah manfaatnya? Studi banding transportasi publik, namun tidak merasakan naik subway. Studi banding pendidikan dasar, tetapi dihabiskan dengan diskusi di ruang rapat. Berinteraksi dengan murid-murid SD di negara tujuan pun tidak.

Apakah yakin kegiatan studi banding semacam itu signifikan manfaatnya? Kalau hanya mempelajari SOP, proses bisnis dan data, dari Indonesia pun bisa dilakukan. Padahal kalau dikelola dengan baik, biaya yang besar itu bisa dipakai untuk mengirimkan orang-orang supaya tinggal dan praktik langsung di negara-negara maju. Dampaknya insya Allah akan lebih besar.

Advertisement

Author: Rully Cahyono

Pengajar yang terus belajar

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s