Substansi

Ingin jadi wartawan, nyasar jadi guru

Resensi Buku: Orang-Orang Bloomington (Budi Darma)

1 Comment

Buku Orang-Orang BloomingtonKarya sastra yang menurut saya bagus, adalah yang bisa membuat pembacanya merenungi maknanya. Saat membaca “Orang-Orang Bloomington” karangan Prof. Budi Darma, saya tidak hanya merenung, bahkan sampai terpekur. Dalam enam cerita pendek yang ada di buku ini, tidak ada yang latarnya istimewa. Biasa-biasa saja. Sepintas nampak seperti problematika manusia pada umumnya, yang tak perlu mendapat perhatian lebih.

Apa yang membuat pembaca harus bertahan dengan cerita-cerita seputar konflik antartetangga, kisah asmara, atau dinamika dalam keluarga? Lagipula, walaupun cerita-cerita ini ditulis saat pengarangnya sedang tugas belajar di Amerika Serikat, tidak banyak yang diceritakan Budi tentang keadaan di sana. Kita tidak terlalu bisa membayangkan seperti apa keadaan di Amerika, musimnya, kulturnya, kondisi sosial masyarakatnya. Gaya berceritanya pun cenderung datar, tanpa letupan-letupan peristiwa yang betul-betul memikat.

Namun, saya bertahan juga sampai lembar terakhir. Dengan kesadaran penuh, saya menikmati seluruh cerita. Setelah membaca lembar demi lembar, saya tersadar. Dalam kisah-kisah yang biasa dan datar tersebut, tersimpan makna yang dalam. Tentang kehidupan yang pilu dan ironis, hakikat kehidupan antarmanusia, dan juga hubungan dengan Sang Pencipta.

Cerita yang paling memikat saya adalah “Orez”. Bukan sebuah kebiasaan, tetapi saya berkaca-kaca saat membacanya. Bagaikan membaca lembaran hidup saya dan isteri, di musim dingin tahun 2015 dahulu di Belanda. Dikisahkan sepasang suami isteri yang sejak mula diramalkan akan celaka. Betul saja, anaknya lahir cacat, secara fisik dan mental. Beban itu begitu beratnya, sehingga si isteri sejak masa kehamilan (yang kesekian, setelah berulang kali selalu celaka), melakukan berbagai cara supaya anaknya tidak lahir. Termasuk meminta suaminya memperlakukan perutnya sebagai bola sepak. Anak itu tetap lahir, yang makin menambah beban kedua orangtuanya.

Cerita ini menggugah kesadaran kita. Apakah manusia kawin hanya untuk mengejar kesenangan, yang dalam cerita ini diibaratkan seperti melepas naluri binatang? Bukankah menjadi tanggung jawab setiap orangtua untuk menerima dan membesarkan anaknya sebaik mungkin? Karena Orez pun ingin hidup. Saat Bapaknya berlagak seperti Ibrahim, Orez bukanlah Ismail yang ikhlas lehernya dipancung pedang. Setiap anak adalah Orez dalam porsinya masing-masing. Anak yang kurang pintar, nakal, usil, atau apa pun, harus diterima dengan ikhlas hati. Dalam cerita ini, dikisahkan juga bahwa masyarakat Amerika yang peradabannya sudah maju, malah sama sekali tidak mempermasalahkan kecacatan Orez. Saya jadi teringat dulu saat anak saya, yang terkena ichthyosis, dibawa ke Posyandu. Orang-orang Belanda melihat, dan kami memperingatkan, mungkin Anda akan merasa mual. Mereka tersenyum dan lanjut melihat, “Tidak, kami tidak takut, kok. Anak kamu sangat tampan.”

Dalam “Laki-Laki Tua Tanpa Nama” dan “Keluarga M”, dikisahkan bahwa manusia itu sebetulnya sangat rapuh. Kita boleh merasa hebat karena pekerjaan atau mobil yang bagus. Terkadang pula manusia tanpa sadar menyalahgunakan kelebihan tersebut. Padahal, itu kita dapatkan mayoritas karena kesempatan semata. Lebih gawat lagi, saat direpotkan oleh sebuah konflik, benarkah itu yang menjadi akar masalah? Apakah tujuan kita hanya akan berputar-putar di sebuah keruwetan hidup yang tanpa makna? Dikisahkan, setelah tokoh Saya berhasil membalas dendam ke keluarga Meek, kemudian cukup sadar dengan perbuatan buruknya, dia menjadi tertegun. “Dan keluarga lain pun datang dan pergi, RA pun berganti terus, dan akhirnya, manajer gedung pun pindah setelah mendapat pekerjaan yang lebih baik. Dan saya tetap di sini, tetap sendiri.

Paradoks semacam itu secara implist kita temui pula dalam “Yorrick” dan “Charles Lebourne”. Tokoh Saya yang iri dengki karena kalah bersaing dalam kisah percintaan akhirnya merasa kosong, setelah melakukan berbagai macam usaha yang melelahkan. Begitu pula James Russel yang ingin membalas dendam ke Lebourne, ayah biologis yang menyia-nyiakan ibunya. Usahanya tidak sepenuhnya berhasil. Malah Russel ikut merasakan menderita.

“Orang-Orang Bloomington” dipandang oleh berbagai kritikus sastra sebagai salah satu karya yang legendaris di tanah air. Menurut saya juga demikian, walaupun hanya didasarkan pada bekal analisis pas-pasan, hasil otodidak. Dalam buku ini kita dapat menyelami berbagai problematika manusia dari berbagai sisi. Dan bukankah karya sastra yang bermutu memang yang semacam itu? Bukan yang menawarkan keriuhan peristiwa semata. Sebuah karya sastra, seperti ujar Maman S. Mahayana, harus mampu menjadi wahana pembacanya untuk berefleksi, sehingga dapat diterapkan ke kehidupannya yang lebih baik, di masa yang akan datang.

Sebagai penutup, saya membuat refleksi dari cerita “Ny. Elberhart”. Apakah sebetulnya tujuan hidup kita di dunia? Apakah semata mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kita dengan baik, tanpa tahu apa tujuan pastinya. Bahkan kita tidak tahu apakah kesibukan tersebut bakal membawa manfaat. Tidak perlu jauh-jauh ke orang lain, manfaat ke diri sendiri pun belum tentu bisa kita jawab. Jangan sampai seperti kisah hidup Ny. Elberhart. “Dalam perjalanan pulang saya makin merasakan bahwa Ny. Elberhart tidak mempunyai arti apa-apa. Di beberapa tempat, majalah Primo (-yang diibaratkan sebagai representasi almarhumah-) dibuang dipinggir jalan atau di tong sampah. Beberapa langsung melemparkannya ke tong sampah.

Sorong, Agustus 2018

Advertisement

Author: Rully Cahyono

Pengajar yang terus belajar

One thought on “Resensi Buku: Orang-Orang Bloomington (Budi Darma)

  1. Jadi penasaran rul buat baca….

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s