Isteri saya bisa masak soto betawi, saya juga bisa masak kare ayam (tanpa bumbu instan). Saya bisa merakit lemari baju dan dipan, isteri saya juga bisa merakit rak buku (dari kayu). Saya bisa benerin kelistrikan rumah dan ganti ban mobil, isteri saya juga bisa betulin kran bak cuci piring dan dudukan shower. Isteri saya tiap malam bacakan buku sebelum anak kami tidur, saya juga sering cebokin setiap kali Kinan selesai BAB.
Di jaman sekarang, menurut saya bukan masanya lagi sebagian jenis pekerjaan rumah tangga itu terlalu di-stereotipkan ke perempuan/laki-laki. Semua bisa dibagi dengan rata. Saling bantu membantu.
Apakah seorang perempuan harus bisa memasak sebelum menikah? Menurut saya, kalau bisa bagus, tapi jika belum bisa juga tidak apa-apa. Kurang adil jika dituntut sudah mahir memasak sejak masih gadis. Saat ini, seorang perempuan juga mengejar pendidikan tinggi. Sejak kecil mereka disibukkan dengan kegiatan belajar. Saat SMP dan SMA sudah biasa baru beres kegiatan jam 4 atau 5 sore. Apalagi saat kuliah. Kalau melihat mahasiswi-mahasiswi ITB, bisa dipastikan tiap malam sibuk dengan tugas.
Kalau sesibuk itu, belum tentu ada waktu belajar masak. Apalagi kalau orangtuanya juga sibuk, mana ada waktu untuk mengajarkan. Sekarang kalau perempuan masih dituntut juga, mari kita balik. Bisa tidak sebelum nikah calon suami menjamin sudah mahir bertukang, benerin listrik, benerin mesin mobil kalau mogok di tengah jalan? Jangankan itu, survey di kelas saya membuktikan, 3 dari 10 mahasiswa bahkan tidak tahu apa yang harus dilakukan jika ban mobilnya mendadak bocor, hihihi.
Jadi, laki-laki dan perempuan itu sama saja. Sama-sama tidak mahirnya dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Wajarkah? Sebetulnya tidak juga, saya berpendapat bahwa seharusnya pelajar itu juga dibekali keterampilan praktis. Tapi faktanya di jaman sekarang memang seperti ini. Makanya tidak boleh banyak menuntut.
Walaupun di awal menikah belum mahir, seorang isteri itu sudah pasti selalu ingin memberikan masakan yang terbaik bagi anak dan suaminya. Dalam hal ini, kuncinya cuma dua, suaminya harus sabar menunggu dan terus memotivasi. Namanya orang berlatih, pasti butuh waktu. Kalau dijalankan terus-menerus selama bertahun-tahun, pasti akan mahir dengan sendirinya.
Begitu pula suami, tidak boleh egois, membebankan semua pekerjaan ke isterinya. Contohnya mengasuh anak. Kalau suami beralasan pulang kerja capek mengasuh anak, isteri juga berhak untuk beralasan yang sama. Perempuan jaman sekarang berpendidikan tinggi. Senangkah seorang lelaki mendapatkan isteri yang pendidikannya tinggi? Pasti. Dari diakah pendidikan tinggi itu berasal? Bukan! Seorang perempuan bisa kuliah karena dibiayai orangtuanya. Suami, tinggal menerima hasil jadinya.
Kalau saya berpendapat, menjadi kurang adil jika suami ingin dapat isteri seorang sarjana, tetapi melarangnya untuk berkegiatan. Yang dimaksud dengan kegiatan bukan hanya bekerja. Belajar, ikut kursus, rutin ke pengajian, dll juga berkegiatan. Perempuan masa kini pada umumnya mencari kegiatan bukan untuk menambah penghasilan keluarga. Terus terang, saya kalau ditanya juga lebih suka isteri saya full-time di rumah, toh penghasilan saya juga sudah cukup. Tapi saya tidak tega. Setelah belasan tahun dia menuntut ilmu, sulit sekali tiba-tiba kalau harus berdiam di rumah saja. Lagipula, saya rasa pada akhirnya fitrah dari perempuan juga ingin di rumah suatu saat nanti. Namun, semua itu perlu waktu. Tidak bisa kita langsung memaksakan keinginan.
Semua kegiatan itu memakan tenaga. Wajar jika suatu saat perempuan merasa lelah mengasuh anak. Kalaupun full mengurus anak, memangnya tidak capek? Anda pernah 2-3 hari benar-benar berdua saja dengan si kecil? Benar-benar mengasuh loh ya, bukan memberikan anak gadget dan kita beraktivitas. Saya sudah sering, dan capeknya bukan main.
Kalau isteri lelah setelah bekerja, bapak-bapak jangan canggung untuk mengasuh anak. Apalagi, itu anak berdua, anak juga perlu mengenal bapaknya. Kalau isteri sibuk, saya yang belanja bahan-bahan makanan, atau setidaknya saya kupaskan bumbu-bumbunya, atau bersihkan ikan, supaya nanti dia tinggal haluskan dan masak.
Begitu pula sebaliknya, kalau suami capek setelah seminggu bekerja, isteri juga harus mengerti kalau jalan-jalan bisa ditunda weekend depan. Ketika saya sudah berjanji akan membereskan kabel internet, namun ternyata lelah karena banyak pekerjaan kantor, isteri saya pun yang membereskan.
Mengapa tidak semua diserahkan ke orang lain? Toh kami bisa membayar. Untuk hal ini, adalah prinsip. Kami punya pembantu, tapi hanya bersih-bersih rumah, mencuci, belanja, dll. Pembantu mengasuh anak, sama sekali saya larang. Tanggung jawab mengasuh anak ada di isteri. Boleh dia bekerja, tapi harus mencarikan penitipan yang memberikan pendidikan karakter unggul. Boleh sibuk di kantor, tapi selama memungkinkan, saat di rumah harus mendidik anak sebaik mungkin.
Soal memasak, tidak saya tuntut harus tiap hari, tetapi paling tidak dua hari dalam weekdays masak, walaupun misalnya hanya sayur bayam dan telur dadar. Saya punya alasan untuk hal ini. Masakan seorang Ibu adalah pengikat (bonding) sebuah keluarga. Masakan yang disiapkan, diolah, dan kemudian dinikmati bersama di meja makan, adalah sebuah pengingat kecil bahwa ada elemen berupa keluarga.
Begitu pun soal bertukang dan membereskan rumah. Kalau yang repot-repot, tentu kami panggil ahlinya. Namun jika masih bisa dikerjakan sendiri, mengapa tidak? Anak pun bisa mencontoh, dan dia akan mendapat pelajaran untuk mandiri. Saya sering bilang ke isteri, “Kita ini mengerjakan tugas akhir yang sulit saja bisa, masa kalau cuma menanam bunga atau merakit rak kecil malas mencoba sendiri? Di Belanda kita bisa semuanya. Kembali ke tanah air kita tidak perlu menghentikan kebiasaan baik itu, hanya karena orang lain tidak melakukan.”
Pada akhirnya, semua itu bisa dikomunikasikan, dan bisa dikompromikan. Kalau kata film “Jomblo”, tidak mungkin ada dua orang yang dari awal cocok-cocok amat, harus saling mengerti, menghormati, dan menghargai.
Ngomong-ngomong, saya dulu ingin menikah di usia 30-35 tahun, ingin menikmati kesenangan hidup dulu. Ternyata, takdir menuntun saya untuk berkeluarga di usia 26 tahun. Namun saya tidak pernah menyesal. Menikah membuat seseorang belajar begitu banyak hal. Menurunkan ego, toleransi, dan saling menghargai. Saya rasa memang seperti itulah fitrah seorang manusia. Membina keluarga yang berhasil, pada prinsipnya sama dengan membangun masyarakat dan peradaban.