Pada bulan Februari 2016, Kemristekdikti telah meluncurkan Klasifikasi dan Pemeringkatan Perguruan Tinggi di Indonesia tahun 2015 berdasarkan Keputusan Menristekdikti Nomor 492.a/M/KP/VIII/2015. Sebanyak 3.320 PTN dan PTS di seluruh Indonesia telah diperingkatkan. Berikut adalah daftar 30 PT peringkat teratas.
Rank | PT | Rank | PT | Rank | PT |
---|---|---|---|---|---|
1 | ITB | 11 | UNHAS | 21 | UNESA |
2 | UGM | 12 | UNAND | 22 | UNILA |
3 | IPB | 13 | UM | 23 | UNSRI |
4 | UI | 14 | UNY | 24 | USD |
5 | ITS | 15 | PETRA | 25 | UNPAR |
6 | UB | 16 | UNSOED | 26 | UMM |
7 | UNPAD | 17 | UNNES | 27 | UBAYA |
8 | UNAIR | 18 | PENS | 28 | UKWMS |
9 | UNS | 19 | UPI | 29 | UNIMED |
10 | UNDIP | 20 | UNRI | 30 | UNJA |
Daftar lengkap peringkat PT dapat dilihat di tautan berikut ini. Namun sayangnya, baik dalam SK maupun lampiran, tidak disebutkan dengan jelas bagaimana metodologi penyusunan peringkat. Hanya disebutkan bahwa terdapat empat kriteria untuk menilai kualitas sebuah PT yaitu sumber daya manusia, manajemen, kegiatan mahasiswa, dan penelitian.
Range penilaian dan bobot antar kriteria pun tidak disebutkan. Berdasarkan pengamatan, range penilaian mestinya adalah angka desimal antara 0 s/d 4. Sedangkan untuk mencari bobot, dengan menggunakan operasi matriks sederhana untuk 30 PT peringkat teratas, perkiraan bobot penilaian adalah sebagai berikut:
- Sumber daya manusia (20%);
- Manajemen (40%);
- Kegiatan mahasiswa (10%);
- Penelitian (30%).
Untuk 30 PT peringkat teratas tersebut, 10 PT dengan nilai terbaik untuk setiap kriteria penilaian adalah:
- Sumber daya manusia: IPB, UGM, ITB, UM, UI, ITS, UNAIR, UNY, UB, UPI.
- Manajemen: UGM, ITS, PENS, IPB, ITB, UI, UNS, PETRA, UM, UB.
- Kegiatan mahasiswa: UGM, ITS, UB, ITB, IPB, UI, UNAIR, UNY, UNSOED, UNDIP.
- Penelitian: ITB, IPB, UGM, UI, UNPAD, UNS, UNHAS, ITS, UB, UNDIP.
Kemristekdikti mengelompokkan 3.320 PT ke dalam 5 klaster. Setiap klaster ditentukan berdasarkan threshold yang ditentukan, misal PT yang masuk klaster pertama adalah yang skornya lebih dari 2.9. Hanya ada 11 PT yang masuk klaster 1. Selengkapnya adalah sebagai berikut:
- Klaster 1, skor > 2,9, sebanyak 11 PT;
- Klaster 2, skor > 2,0, sebanyak 55 PT;
- Klaster 3, skor > 1,0, sebanyak 644 PT;
- Klaster 4, skor > 0,0, sebanyak 2.329 PT;
- Klaster 5, skor = 0,0, sebanyak 281 PT.
Kesenjangan kualitas antaruniversitas
Rilis Kemristekdikti ini memunculkan banyak analisis menarik. Paling mencolok adalah sebuah fakta bahwa lebih dari 70% PT di Indonesia masih berada pada klaster 4. PT yang masuk klaster 4 memiliki skor antara 0-1, yang berarti maksimal hanya 25% dari kualitas ideal (skor 4) sebuah PT. Mahasiswa kelak akan menjadi tenaga kerja yang berkontribusi secara langsung terhadap kompetivitas sebuah negara. Dengan potret seperti ini, apakah yang bisa diharapkan dari lulusan ribuan PT yang masuk dalam klaster 4?

Gambar 1. Komposisi persebaran mahasiswa di Indonesia untuk dua skenario APK.
Kita berasumsi bahwa untuk menciptakan sumber daya manusia yang kompetitif, setidaknya penyelenggara pendidikan tinggi minimal harus memiliki kualitas klaster 2. Asumsi ini cukup masuk akal. Sebuah PT yang masuk klaster 2 skornya minimal 2,0, atau memiliki 50% kualitas. Jika syarat minimal diturunkan menjadi klaster 3 (threshold 1,0), tujuan tidak akan tercapai. Tidak mungkin sebuah negara bisa kompetitif jika SDM nya dibentuk oleh institusi pendidikan yang mutunya hanya 25% dari kualitas ideal.
Jumlah mahasiswa di Indonesia sekitar 5,3 juta jiwa. Bila dihitung terhadap populasi penduduk berusia 19-30 tahun, angka partisipasi kasar (APK) saat ini baru sekitar 23%. Idealnya, APK sebesar 30% untuk dapat menghasilkan SDM unggul. Maka, jumlah mahasiswa ideal adalah sebanyak 6,9 juta jiwa. Berdasarkan rataan jumlah mahasiswa untuk 11 PT anggota klaster 1 (34,690 mahasiswa/PT), maka daya tampung 66 PT anggota klaster 1 dan 2 adalah sekitar 2,289,564 mahasiswa.
Di Gambar 1 dapat dilihat bahwa untuk kondisi saat ini, 57% mahasiswa tidak tertampung oleh PT yang berkualitas. Sedangkan jika pemerintah ingin menaikkan APK menjadi 30%, angka tersebut meningkat menjadi 67%, atau sekitar 4,6 juta mahasiswa. Perlu diingat, bahwa PT “berkualitas” yang kita definisikan ini sebetulnya hanya memiliki 50% kualitas (skor 2,0). Jika menggunakan acuan mutu klaster 1 (75% kualitas), maka jumlah mahasiswa yang mampu ditampung oleh pendidikan bermutu amatlah kecil, hanya sekitar 6-7%.
Fakta yang baru dipaparkan ini adalah problematika yang cukup pelik. Selama ini beberapa faktor dituduh menjadi biang keladi rendahnya partisipasi penduduk untuk mengenyam pendidikan tinggi, diantaranya adalah tingginya biaya kuliah. Namun dengan temuan ini, kalaupun biaya kuliah terjangkau, ternyata institusi pendidikan tinggi di tanah air pun belum siap, lebih dari setengah PTN dan PTS yang kualitasnya belum sesuai harapan. Menggenjot sekitar 2.900 perguruan tinggi untuk minimal mencapai mutu klaster 2, adalah pekerjaan yang amat serius bagi pemerintah.
Indikator kinerja yang jomplang
Tidak hanya antaruniversitas, kesenjangan juga terjadi di antara indikator-indikator kinerja, sebagaimana terlihat dalam tabel di bawah ini. Sebetulnya patut dipertanyakan pemilihan empat indikator tersebut. Alih-alih turunan dari tridharma PT (pendidikan, penelitian, pengabdian masyarakat), Kemristekdikti membuat indikator yang berlainan. Hal ini pun tidak dijelaskan di dalam SK. Pertanyaan paling kuat bisa diajukan untuk indikator “kegiatan mahasiswa”. Mengapa ini tidak diukur saja dengan indikator “pendidikan”? Selain merefleksikan tridharma PT, “pendidikan” sekaligus bisa menjadi ukuran kinerja PT dalam kegiatan belajar mengajar.
SDM | Manajemen | Kegiatan mahasiswa | Penelitian | |
---|---|---|---|---|
Rataan | 3,565 | 3,578 | 0,643 | 1,903 |
Simpangan | 0,289 | 0,318 | 0,942 | 0,776 |
Paling tidak menurut standar Kemristekdikti, kualitas SDM dan manajemen untuk 30 PT terbaik sudah cukup baik. Dua indikator tersebut mendapatkan skor di atas 3,5. Namun untuk indikator “penelitian”, skor 1,9 belumlah memuaskan. Bahkan jika hanya melihat PT klaster 2 dari peringkat 12 s/d 30, skor “penelitian” nya hanyalah 1,4, tidak sampai 40% dari kualitas yang diharapkan. Maka bisa diperkirakan bagaimana buruknya kinerja penelitian untuk ribuan PT di klaster 3, 4, dan 5.
Tidak hanya skornya rendah, kinerja penelitian pun cukup jomplang antaruniversitas, tecermin dari simpangan indikator tersebut yang sebesar 0,776, lebih dari dua kali simpangan indikator “SDM” dan “manajemen”. Artinya, bahkan untuk PT-PT yang top sekalipun, pemerintah masih belum bisa menjamin kualitas penelitian akademisi. Baik buruknya kualitas kegiatan penelitian, lebih merupakan usaha dari masing-masing PT.
Sebetulnya hal ini tidaklah aneh, sebagaimana yang pernah dibahas di artikel berikut ini, produktivitas publikasi Indonesia hanyalah sebanyak 5.000 artikel ilmiah per tahun, dengan produktivitas 0,02 artikel per dosen. Andaikata 5.000 artikel tersebut hanya diproduksi oleh sekitar 18.000 dosen di 30 PT terbaik, produktivitas menulis tidak lebih dari 0,27 makalah/dosen/tahun. Bahkan, jika faktor pembaginya adalah dosen-dosen empat PTN besar, seorang staf akademik di ITB, UGM, IPB, dan UI menulis tidak sampai 0,7 makalah/tahun. Statistik ini amat jauh dibandingkan dengan produktivitas menulis di negara sekecil Belanda, yang mencapai 5 makalah/dosen/tahun.
Ini merupakan ironi yang amat tajam. PTN dan PTS top yang menempati peringkat atas klasifikasi Kemristekdikti, performansinya masih medioker. Sebagai pengingat, bobot indikator “manajemen PT”, yang notabene tidak terkait langsung dengan tridharma, adalah yang terbesar (40%). Jika bobot penelitian diperbesar, sudah pasti makin sedikit PT yang masuk klaster 1 dan 2.
Beberapa faktor bisa dikambinghitamkan atas rendahnya performansi PT dalam meneliti. Selain masalah klasik berupa regulasi dari pemerintah, masing-masing PT sepertinya perlu berbenah. Di beberapa PT rasio dosen dibanding mahasiswa lebih dari 1:25, bahkan ada yang 1:33. Bagaimana bisa meneliti kalau waktu dosen habis untuk mengajar? Sudah menjadi rahasia umum bahwa beberapa PT mengejar jumlah mahasiswa yang banyak untuk meningkatkan jumlah pendapatan kampus. Meskipun miris, memang harus diakui bahwa tidak semua eksekutif PT paham bahwa kampus tidaklah sama dengan sekolah, dan dosen bukanlah guru yang pekerjaannya hanya mengajar di kelas.
Penutup
Peringkat PT yang dirilis Kemristekdikti, alih-alih menjadi kebanggaan bagi beberapa PTN dan PTS yang masuk klaster 1 dan 2, seharusnya menjadi bahan evaluasi bagi kita semua. Data menunjukkan bahwa problematika masih banyak terjadi bahkan untuk PT-PT yang menempati peringkat atas. Jika dilihat dari kacamata nasional, kita patut prihatin bahwa kapasitas pendidikan tinggi yang berkualitas di Indonesia ternyata masih jauh dari memadai. Apalagi jika kemudian dilihat lebih lanjut, apakah misalnya lulusan PT-PT terbaik telah berkontribusi secara langsung terhadap kemajuan negara.
Satu hal yang juga perlu mendapat perhatian khusus, tidak ada satu pun universitas pendidikan (eks IKIP) yang masuk klaster 1. Padahal, posisi universitas pendidikan sebagai penghasil guru amatlah penting. Kemajuan sebuah bangsa amat tergantung dari kualitas pendidikan dasar dan menengahnya, dimana guru adalah determinan utamanya.
Referensi
- Surat Keputusan Menristekdikti Nomor 492.a/M/KP/VIII/2015 tentang Klasifikasi dan Pemeringkatan Perguruan Tinggi di Indonesia tahun 2015.
- Grafik Jumlah Mahasiswa Aktif Berdasarkan Jenis Kelamin, Pangkalan Data Pendidikan Tinggi, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
- “Mahasiswa di Indonesia Cuma 4,8 Juta“, Kompas.com.
- “Bagaimana Belanda Memajukan Penelitiannya“, To improve is to change.
Groningen, Juni 2016
Penulis adalah dosen di Institut Teknologi Bandung. Isi tulisan adalah pendapat pribadi.