Substansi

Ingin jadi wartawan, nyasar jadi guru

Tempat makan di (sekitar) ITB yang bikin kangen

Leave a comment

1. Gerbang belakang ITB

Gerbang belakang ITB. Sumber: [1]

Walaupun pekerjaan saya tetap di ITB, tetap saja kok rasanya kangen dengan tempat-tempat makan sewaktu jadi mahasiswa dulu. Maklum, setelah jadi dosen, saya selalu makan siang bersama-sama kolega di laboratorium. Menunya sih enak-enak, yang paling sering adalah RM Padang Sederhana, Ayam Pringgodani, Tojoyo, Pecel Madiun Hariangbanga, dan Sate Maulana Yusuf. Lebih enak lagi karena gratis, soalnya dibayari pakai dana lab, hihihi. Eh, ini bukan berarti kami korupsi uang mahasiswa ya. Uangnya itu juga berasal dari kami sendiri. Setiap kali dapat proyek dari BUMN/Kementerian atau dana hibah dari DIKTI, sebagian uangnya disisihkan untuk lab. Tidak ada aturan tertulis tentang ini, tetapi setiap orang melakukannya dengan sadar dan taat. Tentu demi keberlangsungan lab.

Tetapi kadang bosen juga makan yang itu-itu terus. Rindu juga dengan makanan-makanan ala mahasiswa S-1 dan S-2 dulu tahun 2004 s/d 2011 yang murah, tidak sehat, tapi enak. Beberapa makanan itu diantaranya adalah sebagai berikut. Mohon dikoreksi jika ada yang salah, karena ingatan saya sudah mulai berkarat.

Di sekitar gerbang belakang ITB

Warung-warung yang ada di sebelah utara ITB, di pinggir jalan Tamansari. Sebagai mahasiswa Teknik Industri yang kampusnya ada di bagian belakang, saya cukup sering kemari. Sayang, terakhir ke ITB tahun lalu, gerbang belakang cukup mengenaskan kondisinya. Kabarnya warung-warung disana sempat mengalami penggusuran. Walaupun sekarang sudah dibangun kembali, gerbang belakang yang ditutup membuat mahasiswa agak malas berkunjung. Terlihat dari pengunjung  yang tampak sepi.

1. Ayam kolgo

Ayam Kolgo. Sumber: [2]

Ayam Kolgo. Sumber: [2]

Lokasinya ada di deretan timur gerbang belakang, dekat dengan gedung Kimia. Jangan bilang kamu tidak tahu apa itu “kolgo”? Ka ci da kalau kata bang Haji Rhoma Irama. “Kolgo” adalah singkatan dari “kol goreng”, salah satu inovasi kuliner terpenting di awal abad ke-21. Jadi ceritanya, di hari pertama datang ke Bandung tahun 2004, seorang senior dari Jember mengajak makan malam di warung pecel lele di Jalan Sangkuriang. Penjualnya bertanya, “Mas, kolnya mau digoreng?” Saya heran. Di Jember orang makan lalap kol dengan direbus dulu. Saya iyakan, tidak ada salahnya mencoba, toh. Eh, ternyata enak dan bikin ketagihan.

Begitupun di warung “Ayam Kolgo” milik H. Ade ini. Kol goreng yang disajikan dengan gratis menjadi ikon utamanya. Walaupun jelas-jelas tidak sehat, banyak sekali mahasiswa yang demen. Perpaduan rasa manis kol, pahit bekas digoreng, dan minyak bekas memang jadi candu. Tetapi sambal dan ayam gorengnya memang enak juga. Biasanya saya paling sering pesan ayam goreng dan telur dadar. Tahun 2011 harganya masih 11-12 ribu rupiah.

2. Warung padang made in “Sunda”

Suatu ketika saya dan seorang teman yang asli dari Padang makan disini. Lokasinya beda 1 atau 2 warung dari Ayam Kolgo kalau tidak salah (ke arah barat/gerbang). Teman saya pun memesan menggunakan bahasa Minang. Setelah pesanan datang, saya melihat teman saya itu makan sambil mengernyitkan dahinya. Sesaat kemudian kami mendengar Ibu penjual berteria ke anaknya yang bertugas di dapur, “A’ buru atuh! Sanguna tos beak didieu!”. Seketika teman saya bilang (dengan suara pelan), “T*i! Padang palsu ternyata!”

Hahaha, yang punya ternyata memang orang Sunda. Popularitas dan prospek warung padang rupaya membuat penduduk asli juga mencoba peruntungan dengan membuka kuliner khas Sumatera Barat ini. Ya memang tidak ada salahnya sih. Meskipun teman saya setelah itu tidak pernah lagi makan disitu. Saya sih masih sering, soalnya harganya lumayan murah, dan lidah saya tidak terlalu sensitif dengan citarasa asli Minangkabau. Paling sering kemari memesan gulai otak, udang balado, atau cincang (gulai kambing).

3. Lotek & nasi pecel

Ini adalah dua warung yang berbeda, tapi lokasinya persis bersebelahan. Warung yang penjualnya bapak kurus berkumis tipis menjual lotek sebagai menu utama. Laris loh lotek ini kalau jam makan siang. Indikator yang baik, karena berarti mahasiswa ITB suka makan sayur. Sehingga mereka tidak terganggu susah BAB saat harus kuliah Kalkulus jam 7 pagi yang menyiksa itu. Tetapi saya lebih sering makan soto betawi. Walaupun kuahnya encer tidak seperti yang di depan BCA Dago, rasanya lumayan kok kalau ditambahi sambal yang banyak. Harganya pun murah. Tidak sampai 10 ribu rupiah.

Di sebelahnya, ada warung yang bapak dan ibu penjualnya kelihatannya dari Jawa Timur kalau menilik logat bicaranya. Mereka jualan ayam goreng dan soto yang menurut saya tidak enak. Tetapi nasi pecelnya lumayan, mungkin sebagai orang asli Jatim saya rindu makan pecel. Biasanya saya membungkus nasi pecel dengan lauk telur dadar, tahu, tempe, dan ati-ampela goreng. Banyak ya lauknya? Dari dulu saya memang suka makan dengan banyak lauk, tetapi alhamdulillah tidak pernah gendut (sombong).

4. Soto “kecoa”

Nah, ini soto legendaris di ITB yang saya kangenin. Anak ITB sampai angkatan 2007 an mestinya tahu kuliner ini. Lokasinya pas di samping gerbang tempat masuk sepeda motor ke parkir belakang, depan perpustakaan pusat.

Coba kamu bayangkan; seorang penjual yang tampak tidak terurus menyiapkan semangkok soto dengan rokok yang terus menggantung di mulutnya. Nyatanya, walaupun kelak kuliah sampai jenjang S-3, saya tidak cukup pintar untuk secara sadar kembali ke warung soto itu berulang kali. Padahal, abu rokok bapak itu sepertinya bisa jatuh kapan pun ke mangkok soto (atau mungkin itu yang bikin enak ya?!). Belum lagi kalau lihat penampilannya yang lebih mirip dukun. Iya kalau dukunnya seperti Ki Kusumo yang rapi. Ini tidak jelas ikut style Bob Marley atau Limbad. Atribut-atribut jorok itu makin ditambah dengan isu bahwa ada yang pernah melihat “kecoa” nangkring di kuah soto.

Tetapi memang soto khas Lamongan/Surabaya ini enak. Saya pernah lihat panci kuahnya diberesin, dan di dalamnya ada tulang-tulang ayam. Artinya, bumbunya insya Allah asli. Isi sotonya tinggal pilih, dari ayam, daging, jerohan, sampai kikil. Enaknya juga, malam soto ini masih buka. Sayangnya, di sekitar tahun 2009, soto ini tiba-tiba raib dan berganti menjadi tempat fotokopi. Konon, penjualnya mudik ke Jawa Timur. Atau jangan-jangan bapak itu memang seorang cenayang yang sudah memprediksikan bahwa lima tahun kemudian, tempatnya bakal digusur? Hihihi.

5. Soto medan

Lokasinya dekat dengan gerbang belakang. Sotonya berkuah santan. Rasanya sebenarnya biasanya saja, dan beda lumayan jauh dengan soto medan yang asli waktu saya dinas ke Medan. Tetapi entah kenapa sering kesini. Mungkin karena bosan dengan menu lain, atau bisa makan menu-menu lain yang cukup variatif. Saya paling suka tumis usus. Baru tahu dua hari yang lalu kalau istri saya juga suka menu itu. Ternyata kami memang berjodoh.

6. Lobang buaya

Kemungkinan besar hanya anak TI, Matematika, Material, Mesin dan sekitarnya yang tahu istilah nyeleneh ini. Warung-warung di “Lobang Buaya” berakhir sekitar tahun 2009 saat penertiban PKL. Lokasinya ada di luar ITB, di pinggir Jalan Tamansari, menempel ke sisi parkir SBM. Waktu itu gerbang SBM dan TI belum dibuka seperti sekarang. Untuk menyiasati para mahasiswa yang malas berjalan keluar memutar, para penjual melubangi bagian atas tendanya sebagai jalur komunikasi, transaksi, dan jalan keluar-masuk piring-piring makanan. Cerdas dan brilian bukan idenya?

Jadi, kami makan dan nongkrong di parkir SBM. Anak-anak SBM yang kece-kece itu, sudah tentu jarang makan di tempat jelata seperti ini. Menu yang cukup sering dipesan adalah soto ayam dan telor dadar serta pecel lele yang sambelnya bikin nagih itu (karena terasa sekali vetsin-nya). Di warung sebelah, ada nasi rames yang mendoannya enak. Sepertinya ada satu warung lagi, tetapi saya tidak bisa mengingatnya.

Di dalam kampus ITB

1. Mas To (MTI)

Mas Warsito yang jualannya di MTI ini sangat terkenal dan endeared di kalangan mahasiswa TI dan Labtek Biru. Tinggal SMS (waktu itu belum jaman WA), pesanan akan diantar kemana pun dan kapan pun. Menunya macam-macam, dari mulai indomie goreng bakso, soto, bakso, nasi goreng, sampai nasi pecel ada. Belakangan, Mas To juga buka warung soto dan bakso di KBL. Waktu sudah jadi dosen, saya sering meminta Pak Bonney, pramukantor di lab saya, untuk membelikan bakso ke Mas To. Dengan setia (dan juga ngos-ngosan), Pak Bonney membawa semangkok bakso ke lantai 4 (di TI tidak ada lift) untuk seorang dosen yang kelaparan. Tetapi seiring pembokaran TI dan KBL besar-besaran, saya tidak tahu dimana sekarang Mas To berada. Ada yang tahu?

2. KBL

KBL ITB. Sumber: [3]

KBL ITB. Sumber: [3]

Nama resminya adalah Kantin Barat Laut (KBL). Namun sering diplesetkan menjadi Kantin Banyak Lalat. Ada yang juga yang bilang kalau motto KBL adalah: “Walaupun berbeda-beda, tetapi tetap satu jua”, karena menu prasmanannya yang rasanya mirip-mirip walaupun berbeda bahan.

Walaupun begitu, ini adalah salah satu favorit anak TI, karena lokasinya memang berada di antara Matematika dan SBM. Sebelumnya, lokasinya adalah di tempat yang sekarang menjadi gedung Campus Center (CC). Karena bosan dengan menu prasmanan yang standar, saya lebih sering memesan menu yang dimasak mendadak seperti cah kangkung telur puyuh, mun tahu atau ayam mentega. Nanti menu itu akan diantarkan oleh mas-mas yang lengannya saingan sama Ade Rai. Tetapi harus sabar kalau pesan, lamanya itu bisa cukup kalau belajar setengah slide kuliah kalau kamu termasuk mahasiswa yang niat.

3. Kantin GKU Barat

Hayo ngaku, apa yang paling diingat dengan kantin ini? Pasti ibu-ibu kasirnya yang jutek. Hihihi. Kalau saya sih tidak, karena konon, ibu itu adalah istri seorang dosen di ITB, yang berarti istri dari kolega saya sendiri yang harus dihormati (penjilat).

Paling sering makan disini adalah saat masih Tahap Persiapan Bersama (TPB) dan sering kuliah di GKU Barat. Biasanya waktu makan siang. Menu prasmanannya lumayan enak, lebih bermutu dibanding KBL, walaupun memang lebih mahal. Saya paling suka ikan yang dibumbu balado. Tetapi yang lebih memorable adalah saat skip sebentar dari kuliah untuk makan indomie rebus. Mahasiswa (termasuk saya) punya alasan valid untuk ini. Ada beberapa kuliah yang bikin ngantuk, dan 20-30 menit rehat sambil menyeruput kuah indomie panas pakai telor bisa mengembalikan konsentrasi demi optimalnya kemampuan otak dalam menyerap kuliah yang nanti berguna bagi nusa dan bangsa. Tetapi mahasiswaku jangan sekali-kali meniru loh ya. Saya kasih E nanti kalian semua!

Di sekitar gerbang depan ITB

1. Lumpia basah

Pelopor lumpia basah di Bandung. Enough to say. Mang penjualnya dulu kalau tidak salah gondrong. Saya termasuk penggemar lumpia basah, dan yang di depan gerbang depan ITB (Jalan Ganesha) memang enak. Harganya pun murah, dulu cuma lima ribu.

2. Susu segar

“Yo-gur A’?” Entah kenapa penjualnya (saya lupa namanya) ini tidak bisa melafalkan “Yoghurt” dengan benar. Kata cewek-cewek Biologi yang sering dikecengin cowok-cowok Mesin yang hopeless itu, susu dan yoghurt yang dijual di gerobak dekat lumpia ini, walaupun segar tetapi banyak bakterinya. Kalau menurut saya, ya pasti lah, namanya juga dijual di pinggir jalan. Nenek-nenek gondrong juga tahu kalau ada bakterinya. Tetapi secara empiris kan belum ada mahasiswa yang sakit keras gara-gara makan susu segar yang tinggal dikasih sirup rasa macem-macem ini toh? Hehehe. Oiya, di malam hari susu ini masih ramai loh.

3. Kantin Salman

Kantin Salman ITB

Kantin Salman ITB. Sumber: [4]

Sebenarnya saya jarang sekali makan disini. Saat Sholat Jum’at pun tidak, karena selama kuliah di ITB, tidak sampai lima kali saya Jum’atan di Masjid Salman. Paling hanya ketika mentoring agama dan saat awal-awal jadi mahasiswa kampus gajah. Tetapi kantin ini cukup ikonik, dan saya sendiri punya satu pengalaman yang cukup unik. Jadi, rasanya sayang kalau tidak dituliskan.

Waktu baru datang ke Bandung, saya dan dua teman dari Jember diajak makan oleh senior di Kantin Salman. Teman saya, sebut saja seorang ustadz yang cukup terkenal di jurusan Tambang’04, mengambil lauk rolade daging kalau tidak salah. Waktu disodori oleh kasir harga sebesar 7 ribuan rupiah, ustadz itu spontan bilang, “Janc*k, kok larang rek?”. Hahaha, buat anak Jember yang waktu itu bisa beli makanan komplit seharga 1500 rupiah di kampung halamannya, wajar kalau kami kaget dengan mahalnya harga makanan di Bandung.

Soal makanan, di kantin Salman jenisnya banyak, tetapi rasanya menurut saya hambar. Kantinnya sendiri cukup bersih, dan setiap menjelang sholat lima waktu selalu tutup.

4. Gelap Nyawang

Banyak tempat makan di Jalan Gelap Nyawang yang menarik, tetapi buat mahasiswa TI, usaha kesana cukup lumayan, paling tidak jalan kaki 15 menit. Makanya jarang-jarang kesana, walaupun menurut beberapa orang makan disitu menarik, bisa sekalian mencoba peruntungan dengan adik-adik SMAN 1 Bandung.

Kalau diurutkan dari sisi timur, paling sering saya makan nasi padang yang di depan Bumi Medika Ganesha (BMG), di sebelahnya ada es campur yang segar. Kemudian ada botram dan soto betawi yang pernah saya tulis disini, ayam cola, dan nasi goreng kreativitas yang benar-benar kreatif. Isinya telur, tahu, tempe, kornet, keju. Dekat ujung Jalan Skanda ada Pecel Madiun yang rasanya biasa saja. Saya agak ilfil karena pernah pesan rujak cingur disitu dan ternyata dikasih kecap. Di deretan barat, menempel dengan Pasar Balubur, ada Warung Padang Bundo Kanduang. Rasanya enak, murah, dan yang jual asli Padang. Sayangnya warung ini raib seiring terbakarnya Pasar Balubur sekitar tahun 2010.

Tempat makan lain?

Tentu masih banyak tempat makan lain di (sekitar) ITB yang tidak ada di tulisan ini. Alasan tidak masuknya mereka macam-macam. Bisa jadi saya memang jarang kesitu, seperti Kantin Borju. Bisa jadi saya merasa tidak pantas masuk, seperti ke Kantin SBM. Atau bisa juga saya punya kenangan buruk karena saat sekalinya impulsif makan di Kantin Bengkok dengan teman saya yang jenius, malah terjebak hujan. Intinya, suka-suka saya mau masukin yang mana.

Kalau lagi bosan, lumayan sering juga makan ke luar ITB, misal gado-gado Tengku Angkasa yang porsinya bejibun dan rasanya terlalu manis buat lidah saya. Sekali-kali juga makan di kampus orang. Cobalah makan di kantin UNISBA sambil ngeceng mahasiswi-mahasiswinya, jangan lupa pakai jaket himpunan. Sungguh norak memang kelakuan (beberapa) mahasiswa ITB. Tetapi tempat-tempat itu rasanya terlalu jauh untuk dikategorikan sebagai kawasan sekitar ITB, makanya tidak saya masukkan.

Intinya, setiap orang punya cerita dan nostalgia masing-masing dengan tempat-tempat itu. Jangan lupa juga, semua bapak dan ibu penjual itu turut berkontribusi membentuk kita menjadi para sarjana ITB loh. Sedikit atau banyak, mereka telah berjasa. Maka, walaupun tidak pernah ditunjuk sebagai wakil para lulusan ITB, saya mengucapkan, “Terima kasih, Pak, Bu!”

Groningen, 6 Mei 2016

Referensi:

  1. “WR. H. Ade Ayam Kolgo”, http://id.openrice.com/en/bandung/r-wr-h-ade-ayam-kolgo-wastu-kancana-r53785, diakses 6 Mei 2016.
  2. “Ayam Kolgo”, https://makankalap.wordpress.com/2011/08/27/ayam-kolgo/, diakses 6 Mei 2016.
  3. “Antara Tokema Sampai KBL”, https://penulisjalanan.wordpress.com/antara-tokema-sampai-kbl/, diakses 6 Mei 2016.
  4. “A trip to Bandung”, https://dianramadhani.wordpress.com/2013/05/20/visit-bandung/, diakses 6 Mei 2016.
Advertisement

Author: Rully Cahyono

Pengajar yang terus belajar

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s