Jalan Hasanudin, Samping Rumah Sakit Borromeus, Bandung; Rp 18.000–20.000/porsi
Kuliah di Bandung benar-benar membuka mata saya akan keragaman kuliner. Sebagai anak udik dari Jember, sebelumnya saya tidak terlalu terbiasa dengan bebek goreng. Begitu datang ke Bandung, teman-teman mengajak ke warung Bebek Ali Borme, dan sejak saat itu saya langsung jatuh cinta dengan cita rasanya.
Warung Bebek Ali Borme letaknya sangat dekat dari ITB. Anda bisa naik angkot Kalapa-Dago ke arah Dago, dan mintalah untuk diturunkan di Rumah Sakit Borromeus, di depan pertigaan dengan Jalan Ganesha. Dari situ berjalanlah sedikit di sisi rumah sakit, Jalan Hasanudin. Anda akan menemui warung kaki lima yang ramai di sisi kanan jalan.
Dapat dilihat di gambar bahwa bentuk dari warung ini adalah kaki lima dengan los yang memanjang. Warung bisa menampung sekitar 70 pengunjung dan hebatnya kondisinya tidak pernah sepi. Pengunjung datang silih berganti. Hal ini membuktikan bahwa cita rasa dari warung ini sudah mendapatkan tempat khsusus di hati masyarakat Bandung.
Begitu datang, pelanggan memesan di meja depan. Terdapat beberapa jenis menu, semua serba goreng, bebek, ayam, lele, tahu, tempe goreng. Tentu saya memilih bebek goreng. Saya pesan bebek goreng dada dan tempe goreng. Saya mendapatkan nomor antrian 84, padahal waktu itu baru sekitar jam 18. Hal ini membuktikan kalau warung benar-benar ramai. Kemudian nomor antrian Anda akan dipanggil, Anda tinggal tunjuk tangan dan pesanan akan diantarkan. Sistem antrian ini sudah bagus. Zaman saya kuliah dulu tidak memakai nomor antrian. Bisa dibilang waktu itu antrian agak chaotic.
Saya pun segera menyantap bebek goreng dan dicocolkan ke sambal. Rasanya masih seperti dulu, maknyus. Sesuatu yang istimewa dari bebek goreng disini adalah teksturnya yang empuk, lembut, dan rasanya yang tidak amis. Kulit di luar kering tetapi di dalam tetap empuk. Dugaan saya, daging bebek sebelumnya diungkep bersama bumbu dengan cara di presto. Mas Ali berasal dari Jawa Timur, oleh karena itu cita rasanya juga dengan bumbu Jawa Timur. Sedangkan sambalnya, ramuannya memakai tomat dan cabai yang digoreng. Sambal sepertinya tidak memakai terasi, rasanya cenderung manis.
Untuk pesanan itu, saya membayar ke Ali sebesar Rp 19.000. Harganya murah untuk cita rasa yang didapatkan. Selain itu, Mas Ali ini orangnya kalau memberikan pelayanan tidak setengah-setengah. Dia rajin menyapa dan mengobrol dengan pelanggannya. Dengan pelanggan yang sama-sama dari Jawa, tentu kami berbincang dengan bahasa Jawa. Ternyata dia masih ingat saya dan menanyakan kenapa saya sudah lama tidak makan di warungnya. Hal seperti ini kecil, tetapi artinya besar bagi pelanggan. Mungkin karena ini pelanggan setia dari Bebek Ali Borme selalu bertambah.
Bandung, 16 Maret 2014