Jalan Gelap Nyawang, Bandung, Jawa Barat; Rp 10.000–15.000/porsi
Siang itu saya dari Bogor menuju ke Bandung. Sampai di Kota Kembang, saya segera menuju ke Cisitu Lama karena sudah berjanji bertemu Ustadz Uca dan Bung Oman, Kahim Himastrol ITB (Himpunan Mahasiswa Astrologi). Setelah bercakap-cakap, perut terasa lapar, wajar karena waktu itu sudah lewat jam makan siang dan perut belum diisi. Saya menawarkan ke teman-teman, apakah ingin makan soto betawi di Gelap Nyawang atau soto madura di Unisba, mereka memilih yang pertama.
Segera kami meluncur ke Gelap Nyawang. Bagi mahasiswa ITB, tentu pasti tahu dimana lokasi tempat makan yang sering disingkat “Ganyang” ini. Tetapi bagi Anda yang belum pernah kesini, ancer-ancer paling mudah adalah jalan Tamansari. Dari Tamansari Anda bisa naik angkot hijau Cicaheum-Ledeng ke arah Cicaheum atau angkot biru Sadang Serang-Caringin ke arah Caringin. Kalau sudah bertemu Kebun Binatang, berarti Anda sudah dekat, mintalah ke supir angkot untuk diturunkan di Gelap Nyawang. Dari situ Anda masih harus berjalan kira-kira 400 m. Ganyang adalah pujasera yang terdiri dari berbagai macam penjual makanan dan minuman. Lokasi Soto Betawi terletak hampir di paling ujung, kira-kira depan Bumi Medika Ganesha ITB, bersebelahan dengan Café Babeh. Karena ini tempat makan mahasiswa, tentu tempatnya tidak wah, tetapi masih bisa dibilang cukup rapi dan bersih.
Waktu itu kami bertiga kompak memilih soto betawi daging dengan ekstra bawang daun, untuk minumnya kami memesan ke los penjual sebelah, es campur garut. Warung ini juga menjual soto semarang yang berkuah bening, tetapi kebanyakan pelanggan lebih memfavoritkan soto betawi. Setelah pesanan datang, segera kami menyantapnya, rasanya sedap, masih sama dengan cita rasanya dulu waktu saya masih jadi mahasiswa. Sebagaimana umumnya soto betawi, soto di warung ini berkuah santan tanpa adanya bumbu kunyit seperti di soto jawa. Kombinasi daging yang empuh dan gurihnya kuah santan membuat Uca dan Oman menambah satu mangkuk soto lagi. Berbeda dengan sop kaki yang juga bersantan, soto betawi disini masuk kategori yang “less flavour”. Artinya, bumbu yang digunakan kandungannya tidak banyak, dan santan yang digunakan juga santan encer, bukan santan kental. Mungkin hal ini untuk menyiasati mahasiswa ITB yang tidak semuanya suka soto bersantan kental dan berbumbu “berat”, dan tentu juga supaya harganya murah.
Setelah soto habis, kami menyantap es campur. Rasanya juga maknyus, lain kali es campur ini akan saya tulis dalam artikel tersendiri. Untuk pesanan tiga piring nasi, empat soto betawi daging, dan satu kerupuk emping, kami membayar Rp 52.000, tentu ini sangat murah. Sedangkan untuk tiga mangkuk es campur harganya Rp 15.000. Dengan kelezatan soto dan harganya yang murah, saya sangat merekomendasikan tempat ini kalau kapan-kapan Anda main ke sekitar ITB.
Bandung, 20 Juni 2013